BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Gerakan merupakan suatu wadah yang tercipta karena
adanya kesamaan ideologi dengan adanya saling mempengaruhi dan satu tujuan yang
sama. Dalam ritemnya Gerakan terbagi menjadi 3 ritme. Pertama: Gerakan
Akomodatif yang merupaka sebuah gerakan yang melakuan perubahan secara lambat
namun gerakan ini akan sanagt lambat dalam melaksanakan perubahannya,
namundengan keuntungan gerakan ini tidak meresahkan masyarakat. Kedua:
Gerakan Reformis yang merupakan gerakan yang melakuakan perubahan secara
sedang, tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat, gerakan ini
mempunyai resiko akan terjadinya konflik sosial namun lebih cepat dari pada
gerakan akomodatif. Ketiga: Gerakan Radikal merupakan gerakan yang
melakuakn perubahan secara besar-besaran (Cepat), dengan keuntungan gerakan ini
akan sangat cepat melakukan perubahan dengan tantangan akan sangat banyak
pertentangan dan sangat meresahkan masyarakat karena melakukan perubahan dengan
merubah apa yang sudah ada dalam masyarakat secara total dan cepat.
Gerakan Wahabi jika dipilih dari salah satu ritme
gerakan diatas merupaka gerakan Radikal karena gerakan ini merupakan gerakan
yang secara derastis merubah keadaan masayarakat yang ada, menajdi yang mereka fikirkan
dan terjadi dengan sangat cepat. Dan sangat menuai banyar pertentangan. Gerakan
wahabi menyerukan pemurnian ajaran Islam karean mereka menganggap keadaan pada
saat itu sudah sangat menjauhi ajaran agama Islam yang murni. Lebih lanjut
gerakan ini akan dijelaskan dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Awal Munculnya Gerakan Wahabi?
2. Siapa
Pendiri gerakan Wahabi?
3. Bagaimana
Kelahiran Sang Pendiri Gerakan Wahabi?
4. Bagaimana
Pemikiran gerakan Wahabi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Awal
Munculnya Gerakan Wahabi
Istilah
Wahabi sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut Muhammad bin
Abdul Wahhab sendiri menyebut diri mereka dengan nama “al-muslimun” atau
“al-muwahhidun” yang berarti mendukung ajaran yang memurnikan ajaran ketauhidan
Allah SWT. Meraka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali
atau ahl al-salaf.
Pribadi
Muhammad bin Abdul Wahhab, sebagai pelopor gerakan tersebut sering
dipersonifikasikan sebagai seorang yang radikal ekstrim dalam mengemukakan
gagasannya. Bahkan lebih ironisnya lagi Muhammad bin abdul Wahhab difitnah
seakan-akan membawa agama baru.[1]
Timbulnya
gerakan ini tidak lepas dari keadaan politik, perilaku keagamaan, dan sosial
ekonomi umat Islam. Secara politik, umat Islam diseluruh kawasan kekuasaan
Islam berada dalam keadaan yang lemah. Turki Usmani yang menjadi penguasa
tunggal saat itu sedang mengalami kemunduran. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan
diri, terutama daerah-daerah diwilayah Eropa, begitu pula yang terjadi di
daerah timur. Keadaan ini mengakibatkan banyak munculnya emirat-emirat kecil
yang ingin menguasai daerah-daerah tertentu.[2] Negri-negri
Islam satu demi satu menjadi barang makanan yang dibagikan oleh kaum imperalis,
persis seperti apa yang disindir oleh Hadits Rosulullah, bahwa suatu saat umat
Islam akan diperebutkan ibarat makanan diatas pinggang, karna kualitasnya
menurun, walaupun kuantitasnya menunjukkan tendensi menaik
Disamping
kelemahan politik, perilaku keagamaan umat Islam pada masa itu merupakan factor
yang paling mendorong munculnya gerakan ini. Pada umumnya, terutama di
Semenanjung Arabia, telah terjadi distorsi pemahaman al-Qur’an. Semangat
keilmuan yang pernah berkobar pada zaman klasik kini telah hangus dan
digantikan dengan sikap fanatic dan kecenderungan mistis. Kemurnian Tauhid
semakin terancam. Guru-guru, pemimpin rohani dikultusan, dijadikan perantara
antar manusia dengan Tuhan. Kuburan dan barang-barang peninggalan orang tua
dikeramatkan. Dengan rusaknya kemurnian tauhid, hubungan antara hamba dengan
Tuhannya sudah menjadi kabur, hubungan antara sihamba dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya pun menjadi tidak terkendali. Amal ibadah yang tadinya murni kemasukan
bermacam-macam bid’ah dan khurafat.
Dalam
hal ini, Stoddard menggambarkan sebagai berikut; “Abad kejumudan ditandai
dengan berbagai penyimpangan. Ketauhidan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
telah diselubungi oleh khurafat dan faham kesufian. Masjid-masjid ditinggalkan
oleh golongan besar yang awam. Mereka menghias diri dengan azimat, penangkal
penyakit. Mereka belajar kepada fakir atau darwisy dan menziarahi kubur orang-orang
keramat untuk meminta sesuatu. Mereka memuja-muja orang itu sebagai orang suci
dan perantara dengan Allah, karena
menganggap dia begitu jauh bagi manusia biasa untuk pengabdian langsung. Orang
sudah buta dengan akan akhalak dan sumber asli dari ajaran Islam yang menumbuhkan vitalitas
hidup dan memberikan energy. Pendek kata kehidupan Islam telah lenyap,
meninggalkan ritus tak berjiwa, dan kemunduran yang merata. Andai kata Nabi
Muhammad hidup kembali dan menyaksikan apa yang terjadi pada umat Islam, pasti
murkalah dan melontarkan pengikut-pengikutnya dengan murtad dan menyembah
berhala. Kota Mekkah dan Madinah pun menjadi tempat penuh penyelewengan dan
penyimpangan, ibadah Haji pun disalah gunakan”. [3]
M.
Natsir, menambahkan dalam ceramahnya “Essensialia demokrasi dalam tata Negara,
digantikan oleh feodalisme dalam bermacam-macam bentuk. Pegawai pemerintahan
yang curang memeras dan merampas hak-hak rakyat. Petani dan orang kota patah
semangatnya untuk bekerja dan berusaha baik pertanian maupun perdagangan jatuh
merosot sama sekali”.
Di
kalangan orang awam, gairah untuk melepaskan diri dari keadaan yang lumpuh itu
sudah hilang. Bahkan ada slogan-slogan yang mendorong orang benci dunia, lari
dari kenyataan dan keadaan. Ada hadits yang berbunyi: Al-dunya sijnu al-mu’min wa jannatu al-kafirin” (dunia adalah penjara
bagi orang mu’min, dan surga bagi orang-orang kafir), dan ditambah dua kata: “Thalibuha kibalun”(dan orang-orang yang
mencari dunia ialah ibarat seekor anjing). Inilah yang mendorong kepada orang
mu’min supaya benci kepada dunia, kemudian orang-orang mu’min menyerah terhadap
takdir.[4]
Gerakan
Wahab dimotori olah para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka
menebarkan kebencian permunsuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar.
Mereka gemar menuduh golongan Isalm yang tidak sejalan dengan mereka dengan
tuduhan kafir, syirik dan bid’ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di
setiap kesempatan.
B. Kelahiran
Muhammad bin Abdul Wahhab
Muhammad
bin Abdul Wahhab lahir di Uyainah pada tahun 1115 H atau 1703, sebuah kota
kecil di lembah Nejed. Suatu daerah yang waktu itu masih murni keIslamannya,
daerah ini merupakan daerah bekas jajahan Turki, namun tentara Turki tidak
menaruh perhatian terhadap daerah tersebut. Di daerah itu tidak diberikan wakil
pemerintah yang elektif, sehingga kabilah-kabilah Arab yang mendiami daerah ini
tetap hidup sebagai kelompok hang bebas dibawah pimpinan kepala-kepala suku.
Apalagi dalam masa itu kebebasan dan kekuasaan Turki Usmani memang sudah
merosot, karna tinggakah para pemimpinnya.
Mulanya
Muhammad bin Abdul Wahhab dididik oleh ayahnya sendiri. Ayahnya seorang alim
dari aliran madzhab Hanbali yang menjadi kadhi di negri itu. Puas akan
gemblengan ayahnya, dan banyak dikaji fikih dalam aliran Hanbali, ia pergi ke
Madinah dan berguru kepada Syekh Sulaiman Al-Kurdi dan Muhammad al-Sindi. Dari
dua guru inilah Muhammad bin Abdul Wahhab memperoleh informasi tentang
banyaknya bid’ah yang beredar dimasyarakat Islam.
Untuk
memperluas pengalaman dan pengetahuan, Muhammad bin Abdul Wahhab merantau lagi
ke beberapa negri. Di Bashrah selama 4 tahun, di Baghdad selama 5 tahun, di
Kurdistan selama setahun, lalu ke Hamadhan selama 2 tahun, dan dilanjutkan ke
Ishfahan untuk mempelajari falsafah dan tasawuf, kemudian pulang ke negrinya
setelah singgah ke kota Qumm.
C. Pemikiran Wahabi
Sekembalinya
ke Najed, ia mulai melakukan gagasannya untuk memperbaiki perilaku keagamaan
masyarakatnya terutama dalam masalah akidah, ternyata konsep yang dibuatnya
mendapat tantangan dari masyarakat sekitar yang merasa “kesucian” agama yang
mereka yakini ternodai, menyadari akan gagal apabila tidak didukung oleh
kekuatan, Ibnu Abdul Wahhab meninggalkan Najed, untuk mencari dukungan yang
kuat dari kabilah lain.
Kepergian
Ibnu Abdul Wahhab dari Najed kali ini merupakan “hijrah”nya yang ke dua, jika
yang pertama untuk menuntut ilmu, namun
kali ini ia pergi untuk menghimpun kekuatan guna mendukung misinya. Tujuannya
adalah al-Daryah sebelah timur Riyadh, yang di huni Amir Muhammad bin Sa’ud. Ia
adalah pemimpin dari dinasti Sa”ud yang kini berkuasa di Arab. Ibnu Abdul
Wahhab memandang Amir Sa’ud sebagai orang yang moderat dalam berfikir dan
memiliki ambisi untuk menguasai daratan Arabia. Pada tahun 1744 M tergalanglah
sebuah kesepakatan antara keduanya untuk menjadi satu dalam sebuah gerakan.
Akidah-alidah
poko dari gerakan Wahabipada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Perbedaanya hanya dalam menafsirkan beberapa
persoalan tertentu. Akidah-akidanya dapat disimpulakn dalam dua bidang, yaitu
bidang tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah.[5]
Inti
ajaran yang dibawa Ibnu Abdul Wahhab sangat mempengaruhi ajaran yang dibawa
oleh Ibni Taimiyyah dalam mengutuskan ajarannya dirasakan oleh Ibnu Abdul
Wahhab tidak efektif. Maka ia mengambil sikap keras dengan menggunakan kekuatan.
Ada
dua inti ajarannya:
a. Kembali
kepada ajaran yang asli (ajaran Islam yang dianut dan dipraktekkan Nabi
Muhammad saw, sahabat, tabiin)
b. Prinsip
yang berhubungan dengan masalah tauhid
Pemikiran yang
dicetuskan oleh Ibnu Abdul Wahhab ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap
suasana ketauhidan yang telah dirusak oleh paham musyrik, bukan merupakan
gerakan politik. Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdul
Wahhab menyusun kitab “at-tauhid” yang memuat pandangannya sekitar tauhid, syirik,
dan lain” yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya, kalimat “Laa Ilaha
Illa Allah” tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus dimanistasikan dengan
“Laa Ma’bud Illa Allah”.
Dalam mengartikan ayat
Al-Qur’an, Ibnu Abdul Wahhab terkesan majassimah (antropomorsif) karna tidak
membolehkan takwil. Sebenernya ia pun menolak tajassimah. Ia hanya menerima
al-qur’an secara harfiah dan tidak menanyakan lebih lanjut. Mengenai sifat
Tuhan, ia menolak Tuhan memiliki sifat dan menerima sifat terlepas dari Tuhan,
tetapi jangan menanyakan bagaimana sifat itu.[6]
Kaum wahabi beranggapan
bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Ma’bud (Yang ditujukan ibadah
kepada-Nya), tak ada Mabdu’ selain-Nya. Dan sama sekali tidak boleh adanya
ibadah kepada sesuatu apapun selain –Nya. Pengertian seperti itu
semuanya,ditandaskan oleh Al-Qur’an, Sunnah Akal dan Ijma’.
Secara
umum tujuan gerakan wahabi adalah mengkikis habis segala bentuk Takahyul,
bid’ah, Khurafat dan bentuk penyimpangan pemikiran dan prakik keagamaan umat
islam dinilai telah keluar dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ada
beberapa dokrin atau ajaran dalam praktik gerakan ini yaitu sebagai berikut:
Menurut
penuturan KH. Sirajuddin Abbas, praktik ajaran wahabi di Makkah dan madinah
antara lain:
1. Semua
objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang telah
melakuknnya harus dihukum mati atau dibunuh.
2. Mengunjungi
kuburan 0rang-orang suci bukanlah bertauhid tapi Musyrik
3. Tdak
boleh membunyikan radio
4. Tidak
boleh melagukan kasidah dean meragukan bacaan Al-Qur’an
5. Tidak
boleh mengkaji sifat wajib dan Mustakhil Allah
6. Perayaan
maulid dan ziarah nabi temasuk bid’ah
7. Berdo’a
dengan tawasul
Selain praktik ajaran Wahabi diatas masih banyak
praktik-praktik yang sangat betrentangan dengan mayoritas Umat Isalm yang ada
di Dunia. Maka disinilah letak keradikalan Wahabi yang mana bersikukuh untuk
merubah secara cepat dengan faham mereka. Mereka tidak segan-segan menggunakan
kekerasan untuk mneyebarkan faham yang mereka miliki agar diterima dalam suatu
masyarakat.
Yang menjadi sebuah permasalah ketika kaum wahabi
beranggapan bahwa manusia yang tidak sesuai dengan apa yang mereka fahami
dengan melakukan tradisi-tradis yang mereka anggap salah, maka mereka
mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bid’ah dan mengatakan bahwa
semua bid’ah adalah buruk, manakala ulama’ tau tentang tradisi itu dan tidak
melarangnya maka mereka dianggap murtad dan masuk neraka. Inilah jalan wahabi
yang gemar mengkafirkan ulama’ Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Awal mula gerakan ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Yang mana
dia beranggapan bahwa Islam telah menyimpang jauh dari ajaran Islam yang
sebenarnya, dari situlah dia termotifasi untuk membuat gerakan yang mampu
memurnikan segara bentuk kesesatan yang telah menyimpang.
Muhammad bi Abdul Wahab lahir di Uyainah, ia di dikik langsung oleh
ayahnya sendiri yang notabennya adalah penganut mazhab Hambali, kemudian ia
belajar ke Makkah dan Madinah dan berguru di beberapa ulama’. Kemudian kembali
ke kampung halamnnya.
Ini dari ajaran Wahabi adalh pemurnian agama islam tanpa ada tahayul,
bid’ah dan khurafat. Dengan mengembalikan semua hukum ke Al-Qur’an dan Sunnah.
Tanpa adnya dasaran keduanya mereka beranggapan bahwa itu merupakan Bid’ah.
DATAR PUSTAKA
Imam Munawwir, Mengenal
Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa (PT Bina Ilmu,
Suarabaya: 2006)
Nasir, Sahihan, Pemikiran Kalam Teologi, (Jakarta, Rajawali
Press, 2010),
Ensiklopedi
Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarata: 2005)
[1] Imam Munawwir,
Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir
Islam Dari Masa ke Masa (PT Bina Ilmu, Suarabaya: 2006) hal.420
[2] Ensiklopedi Islam, (PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve. Jakarata: 2005) hal.226
[3] [3] Imam
Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar
dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa (PT Bina Ilmu, Suarabaya: 2006) hal 421
[4] Ibid. hal 422
[5] Nasir,
Sahihan, Pemikiran Kalam Teologi, (Jakarta, Rajawali Press, 2010), hal
292
Tidak ada komentar:
Posting Komentar