Sabtu, 26 Agustus 2017

Makalah Wahabi

BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
Gerakan merupakan suatu wadah yang tercipta karena adanya kesamaan ideologi dengan adanya saling mempengaruhi dan satu tujuan yang sama. Dalam ritemnya Gerakan terbagi menjadi 3 ritme. Pertama: Gerakan Akomodatif yang merupaka sebuah gerakan yang melakuan perubahan secara lambat namun gerakan ini akan sanagt lambat dalam melaksanakan perubahannya, namundengan keuntungan gerakan ini tidak meresahkan masyarakat. Kedua: Gerakan Reformis yang merupakan gerakan yang melakuakan perubahan secara sedang, tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat, gerakan ini mempunyai resiko akan terjadinya konflik sosial namun lebih cepat dari pada gerakan akomodatif. Ketiga: Gerakan Radikal merupakan gerakan yang melakuakn perubahan secara besar-besaran (Cepat), dengan keuntungan gerakan ini akan sangat cepat melakukan perubahan dengan tantangan akan sangat banyak pertentangan dan sangat meresahkan masyarakat karena melakukan perubahan dengan merubah apa yang sudah ada dalam masyarakat secara total dan cepat.
Gerakan Wahabi jika dipilih dari salah satu ritme gerakan diatas merupaka gerakan Radikal karena gerakan ini merupakan gerakan yang secara derastis merubah keadaan masayarakat yang ada, menajdi yang mereka fikirkan dan terjadi dengan sangat cepat. Dan sangat menuai banyar pertentangan. Gerakan wahabi menyerukan pemurnian ajaran Islam karean mereka menganggap keadaan pada saat itu sudah sangat menjauhi ajaran agama Islam yang murni. Lebih lanjut gerakan ini akan dijelaskan dalam makalah ini.

   B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Awal Munculnya Gerakan Wahabi?
2.      Siapa Pendiri gerakan Wahabi?
3.      Bagaimana Kelahiran Sang Pendiri Gerakan Wahabi?
4.     Bagaimana Pemikiran gerakan Wahabi?







BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Awal Munculnya Gerakan Wahabi
Istilah Wahabi sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri menyebut diri mereka dengan nama “al-muslimun” atau “al-muwahhidun” yang berarti mendukung ajaran yang memurnikan ajaran ketauhidan Allah SWT. Meraka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali atau ahl al-salaf.
Pribadi Muhammad bin Abdul Wahhab, sebagai pelopor gerakan tersebut sering dipersonifikasikan sebagai seorang yang radikal ekstrim dalam mengemukakan gagasannya. Bahkan lebih ironisnya lagi Muhammad bin abdul Wahhab difitnah seakan-akan membawa agama baru.[1]
Timbulnya gerakan ini tidak lepas dari keadaan politik, perilaku keagamaan, dan sosial ekonomi umat Islam. Secara politik, umat Islam diseluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan yang lemah. Turki Usmani yang menjadi penguasa tunggal saat itu sedang mengalami kemunduran. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama daerah-daerah diwilayah Eropa, begitu pula yang terjadi di daerah timur. Keadaan ini mengakibatkan banyak munculnya emirat-emirat kecil yang ingin menguasai daerah-daerah tertentu.[2] Negri-negri Islam satu demi satu menjadi barang makanan yang dibagikan oleh kaum imperalis, persis seperti apa yang disindir oleh Hadits Rosulullah, bahwa suatu saat umat Islam akan diperebutkan ibarat makanan diatas pinggang, karna kualitasnya menurun, walaupun kuantitasnya menunjukkan tendensi menaik
Disamping kelemahan politik, perilaku keagamaan umat Islam pada masa itu merupakan factor yang paling mendorong munculnya gerakan ini. Pada umumnya, terutama di Semenanjung Arabia, telah terjadi distorsi pemahaman al-Qur’an. Semangat keilmuan yang pernah berkobar pada zaman klasik kini telah hangus dan digantikan dengan sikap fanatic dan kecenderungan mistis. Kemurnian Tauhid semakin terancam. Guru-guru, pemimpin rohani dikultusan, dijadikan perantara antar manusia dengan Tuhan. Kuburan dan barang-barang peninggalan orang tua dikeramatkan. Dengan rusaknya kemurnian tauhid, hubungan antara hamba dengan Tuhannya sudah menjadi kabur, hubungan antara sihamba dengan sesama manusia dan alam sekitarnya pun menjadi tidak terkendali. Amal ibadah yang tadinya murni kemasukan bermacam-macam bid’ah dan khurafat.
Dalam hal ini, Stoddard menggambarkan sebagai berikut; “Abad kejumudan ditandai dengan berbagai penyimpangan. Ketauhidan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. telah diselubungi oleh khurafat dan faham kesufian. Masjid-masjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam. Mereka menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit. Mereka belajar kepada fakir atau darwisy dan menziarahi kubur orang-orang keramat untuk meminta sesuatu. Mereka memuja-muja orang itu sebagai orang suci dan perantara dengan Allah, karena menganggap dia begitu jauh bagi manusia biasa untuk pengabdian langsung. Orang sudah buta dengan akan akhalak dan sumber asli dari ajaran Islam yang menumbuhkan vitalitas hidup dan memberikan energy. Pendek kata kehidupan Islam telah lenyap, meninggalkan ritus tak berjiwa, dan kemunduran yang merata. Andai kata Nabi Muhammad hidup kembali dan menyaksikan apa yang terjadi pada umat Islam, pasti murkalah dan melontarkan pengikut-pengikutnya dengan murtad dan menyembah berhala. Kota Mekkah dan Madinah pun menjadi tempat penuh penyelewengan dan penyimpangan, ibadah Haji pun disalah gunakan”. [3]
M. Natsir, menambahkan dalam ceramahnya “Essensialia demokrasi dalam tata Negara, digantikan oleh feodalisme dalam bermacam-macam bentuk. Pegawai pemerintahan yang curang memeras dan merampas hak-hak rakyat. Petani dan orang kota patah semangatnya untuk bekerja dan berusaha baik pertanian maupun perdagangan jatuh merosot sama sekali”.
Di kalangan orang awam, gairah untuk melepaskan diri dari keadaan yang lumpuh itu sudah hilang. Bahkan ada slogan-slogan yang mendorong orang benci dunia, lari dari kenyataan dan keadaan. Ada hadits yang berbunyi: Al-dunya sijnu al-mu’min wa jannatu al-kafirin” (dunia adalah penjara bagi orang mu’min, dan surga bagi orang-orang kafir), dan ditambah dua kata: “Thalibuha kibalun”(dan orang-orang yang mencari dunia ialah ibarat seekor anjing). Inilah yang mendorong kepada orang mu’min supaya benci kepada dunia, kemudian orang-orang mu’min menyerah terhadap takdir.[4]
Gerakan Wahab dimotori olah para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka menebarkan kebencian permunsuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Isalm yang tidak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan bid’ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan.

   B.     Kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab
Muhammad bin Abdul Wahhab lahir di Uyainah pada tahun 1115 H atau 1703, sebuah kota kecil di lembah Nejed. Suatu daerah yang waktu itu masih murni keIslamannya, daerah ini merupakan daerah bekas jajahan Turki, namun tentara Turki tidak menaruh perhatian terhadap daerah tersebut. Di daerah itu tidak diberikan wakil pemerintah yang elektif, sehingga kabilah-kabilah Arab yang mendiami daerah ini tetap hidup sebagai kelompok hang bebas dibawah pimpinan kepala-kepala suku. Apalagi dalam masa itu kebebasan dan kekuasaan Turki Usmani memang sudah merosot, karna tinggakah para pemimpinnya.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahhab dididik oleh ayahnya sendiri. Ayahnya seorang alim dari aliran madzhab Hanbali yang menjadi kadhi di negri itu. Puas akan gemblengan ayahnya, dan banyak dikaji fikih dalam aliran Hanbali, ia pergi ke Madinah dan berguru kepada Syekh Sulaiman Al-Kurdi dan Muhammad al-Sindi. Dari dua guru inilah Muhammad bin Abdul Wahhab memperoleh informasi tentang banyaknya bid’ah yang beredar dimasyarakat Islam.
Untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, Muhammad bin Abdul Wahhab merantau lagi ke beberapa negri. Di Bashrah selama 4 tahun, di Baghdad selama 5 tahun, di Kurdistan selama setahun, lalu ke Hamadhan selama 2 tahun, dan dilanjutkan ke Ishfahan untuk mempelajari falsafah dan tasawuf, kemudian pulang ke negrinya setelah singgah ke kota Qumm.

   C.    Pemikiran Wahabi
Sekembalinya ke Najed, ia mulai melakukan gagasannya untuk memperbaiki perilaku keagamaan masyarakatnya terutama dalam masalah akidah, ternyata konsep yang dibuatnya mendapat tantangan dari masyarakat sekitar yang merasa “kesucian” agama yang mereka yakini ternodai, menyadari akan gagal apabila tidak didukung oleh kekuatan, Ibnu Abdul Wahhab meninggalkan Najed, untuk mencari dukungan yang kuat dari kabilah lain.
Kepergian Ibnu Abdul Wahhab dari Najed kali ini merupakan “hijrah”nya yang ke dua, jika yang pertama untuk menuntut ilmu, namun kali ini ia pergi untuk menghimpun kekuatan guna mendukung misinya. Tujuannya adalah al-Daryah sebelah timur Riyadh, yang di huni Amir Muhammad bin Sa’ud. Ia adalah pemimpin dari dinasti Sa”ud yang kini berkuasa di Arab. Ibnu Abdul Wahhab memandang Amir Sa’ud sebagai orang yang moderat dalam berfikir dan memiliki ambisi untuk menguasai daratan Arabia. Pada tahun 1744 M tergalanglah sebuah kesepakatan antara keduanya untuk menjadi satu dalam sebuah gerakan.
Akidah-alidah poko dari gerakan Wahabipada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Perbedaanya hanya dalam menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidanya dapat disimpulakn dalam dua bidang, yaitu bidang tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah.[5]
Inti ajaran yang dibawa Ibnu Abdul Wahhab sangat mempengaruhi ajaran yang dibawa oleh Ibni Taimiyyah dalam mengutuskan ajarannya dirasakan oleh Ibnu Abdul Wahhab tidak efektif. Maka ia mengambil sikap keras dengan menggunakan kekuatan.
Ada dua inti ajarannya:
a.       Kembali kepada ajaran yang asli (ajaran Islam yang dianut dan dipraktekkan Nabi Muhammad saw, sahabat, tabiin)
b.      Prinsip yang berhubungan dengan masalah tauhid
Pemikiran yang dicetuskan oleh Ibnu Abdul Wahhab ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap suasana ketauhidan yang telah dirusak oleh paham musyrik, bukan merupakan gerakan politik. Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdul Wahhab menyusun kitab “at-tauhid” yang memuat pandangannya sekitar tauhid, syirik, dan lain” yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya, kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus dimanistasikan dengan “Laa Ma’bud Illa Allah”.
Dalam mengartikan ayat Al-Qur’an, Ibnu Abdul Wahhab terkesan majassimah (antropomorsif) karna tidak membolehkan takwil. Sebenernya ia pun menolak tajassimah. Ia hanya menerima al-qur’an secara harfiah dan tidak menanyakan lebih lanjut. Mengenai sifat Tuhan, ia menolak Tuhan memiliki sifat dan menerima sifat terlepas dari Tuhan, tetapi jangan menanyakan bagaimana sifat itu.[6]
Kaum wahabi beranggapan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Ma’bud (Yang ditujukan ibadah kepada-Nya), tak ada Mabdu’ selain-Nya. Dan sama sekali tidak boleh adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain –Nya. Pengertian seperti itu semuanya,ditandaskan oleh Al-Qur’an, Sunnah Akal dan Ijma’.
Secara umum tujuan gerakan wahabi adalah mengkikis habis segala bentuk Takahyul, bid’ah, Khurafat dan bentuk penyimpangan pemikiran dan prakik keagamaan umat islam dinilai telah keluar dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ada beberapa dokrin atau ajaran dalam praktik gerakan ini yaitu sebagai berikut:
Menurut penuturan KH. Sirajuddin Abbas, praktik ajaran wahabi di Makkah dan madinah antara lain:
1.      Semua objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang telah melakuknnya harus dihukum mati atau dibunuh.
2.      Mengunjungi kuburan 0rang-orang suci bukanlah bertauhid tapi Musyrik
3.      Tdak boleh membunyikan radio
4.      Tidak boleh melagukan kasidah dean meragukan bacaan Al-Qur’an
5.      Tidak boleh mengkaji sifat wajib dan Mustakhil Allah
6.      Perayaan maulid dan ziarah nabi temasuk bid’ah
7.      Berdo’a dengan tawasul
Selain praktik ajaran Wahabi diatas masih banyak praktik-praktik yang sangat betrentangan dengan mayoritas Umat Isalm yang ada di Dunia. Maka disinilah letak keradikalan Wahabi yang mana bersikukuh untuk merubah secara cepat dengan faham mereka. Mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mneyebarkan faham yang mereka miliki agar diterima dalam suatu masyarakat.
Yang menjadi sebuah permasalah ketika kaum wahabi beranggapan bahwa manusia yang tidak sesuai dengan apa yang mereka fahami dengan melakukan tradisi-tradis yang mereka anggap salah, maka mereka mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bid’ah dan mengatakan bahwa semua bid’ah adalah buruk, manakala ulama’ tau tentang tradisi itu dan tidak melarangnya maka mereka dianggap murtad dan masuk neraka. Inilah jalan wahabi yang gemar mengkafirkan ulama’ Islam.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Awal mula gerakan ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Yang mana dia beranggapan bahwa Islam telah menyimpang jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya, dari situlah dia termotifasi untuk membuat gerakan yang mampu memurnikan segara bentuk kesesatan yang telah menyimpang.
Muhammad bi Abdul Wahab lahir di Uyainah, ia di dikik langsung oleh ayahnya sendiri yang notabennya adalah penganut mazhab Hambali, kemudian ia belajar ke Makkah dan Madinah dan berguru di beberapa ulama’. Kemudian kembali ke kampung halamnnya.
Ini dari ajaran Wahabi adalh pemurnian agama islam tanpa ada tahayul, bid’ah dan khurafat. Dengan mengembalikan semua hukum ke Al-Qur’an dan Sunnah. Tanpa adnya dasaran keduanya mereka beranggapan bahwa itu merupakan Bid’ah. 






DATAR PUSTAKA
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa (PT Bina Ilmu, Suarabaya: 2006)
Nasir, Sahihan, Pemikiran Kalam Teologi, (Jakarta, Rajawali Press, 2010),
Ensiklopedi Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarata: 2005)





[1] Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa (PT Bina Ilmu, Suarabaya: 2006) hal.420
[2] Ensiklopedi Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarata: 2005) hal.226
[3] [3] Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa (PT Bina Ilmu, Suarabaya: 2006)  hal 421
[4] Ibid. hal 422
[5] Nasir, Sahihan, Pemikiran Kalam Teologi, (Jakarta, Rajawali Press, 2010), hal 292
[6]Ensiklopedi Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarata: 2005) hal. 228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar