SEJARAH
KESENIAN ISLAM
PADA MASA
ABBASIYAH
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Sejarah
Keseniai Islam
Dosen
Pembimbing:
Abdurrahman, M.
Hum
Oleh:
Ahmad Khoiron
Minan (A72214030)
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
KESENIAN ISLAM PADA
MASA DINASTI ABBASIYAH
A. Seni
Tulis
1. Tulis
Arab
Seperti
yang sudah dijelasakan dipresentasi sebelumnya bahwa tulisan arab sudah ada
sebelum datangnya Islam yang berasal dari tulisan Himyar (yaman) kemudian
berkembang ketika Islam hadir di negri Arab. Pada masa Khulafaur Rasyidin
dengan diadakannya pembukuan Al-Qur’an maka seni tulis Arab semakin berkembang.
Fungsi besar dari tulisan arab, yaitu ketika dimulainnya pelaksanaan “Tadwinul-hadist”
yaitu usaha untuk menuiskan dan membukukan segala hadist Nabi SAW, karena sudah
banyak sekali orang yang berani menciptakan hadist palsu. Tadwinul-hadist
dimulai pada masa kehalifahan Umayyah yaitu pada masa Umar bin Abdul Aziz,
kemudian diteruskan pada masa Dinasti Abbasiyah yaitu seorang ahli hadist yang
terbesar yaitu Muhammad bin Isma’il Al Bukhary (790-896 M) yang tekenal dengan
kitab Sahih Bukhary, kemudian usaha besarnya diikuti oleh muridnya Muslim ibnu
Al- Hujjad (819-874) yang terkenal dengan nama Sahih Muslim, selain itu ada
enam buah kitab hadist yang termasyhur yang disebut “Kutubussittah” yang
kesemuanya ditulis pada masa kehalifahan Abbasiyah, ini menujukan berkembangnya
seni tulis arab. Selain masih banyak sekail yang menujukan berkembangnya seni
tulis seperti penerjamahan filsafat yunani kuno dan buku-buku islam lainnya.[1]
2. Seni
Kaligrafi
Seni tulis indah atau seni kaligrafi adalah suatu
seni tulisa yang bersumber dari tulisan arab,ungkapan kaligrafi berasal dari
bahasa inggris yang disederhanakan, calligraphy diambil dari kata latin
“Kalios” yang berarti indah dan “Graph” yang berarti tulisan atau aksara.[2]Dalam
bahasa Arab menyebutnya khat perkembangannya telah dimuali sejak berabad-abad
yang lampau dimuali dari pemerintahan dinasti Ummayah dengan pusatanya di
Damaskus dan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.[3]pada
khalifah Abdullah Al-Saffah atau khalifah pertama dinasti Abbasiyah, muncul 2
tokoh kaligrafer asal Syiria yaitu Al-Dahhak bin Ajlan dan Ishak bin Hammad.
Pada masa khalifahan Abu Ja’fal Al Mansur Ishak masih hidup dan memperkenalkan
Kaligrafi gaya Sulus dan Sulusayn, kemudian dikembangkan oleh muridnya Yusuf
Al-Sijzi. Fal bin Sahl wazir dari
Khalifah Al-Makmum member apresisai khusus kepada tulisan-tulisan
tersebut, hingga memerintahkan pemakainnya untuk seluruh penulisan dan
registrasi kantor. Tulisan tersebut lantas dinamakan Riyasi.
Selanjutanya terjadi penyempuranaan tulisan tersebut
yang dilakukan oleh saudara Yusuf sendiri, Ibrahin al-Sijzi yang kemudian
diturunkan kepada muritnya yang termasyhur yang mendapat jilikan Al-Ahwal
(Simata Juling).Nama ini yang kemudian mengembangkan kaligrafi di zaman modern
di masa-masa berikutnya. Adapun gaya kaligrafi yang berkembang pada masa dinast
Abbasiyah seperti Suluts, Naskhi, Sulusain dan lain sebagainnya.[4]
B.
Seni hias dan Kerajinan
Dalam perkembangan Seni Rupa Islam, seni
hias dan seni kerajinan tidak dapat dipisahkan dalam aspek penciptaannya dan
penggunaannya sebagai hasil dari seni Islam. Dalam penggunaannya , seni hias
sangat penting sebagai bahan dekorasi pada setiap bangunan masjid maupum
bagunan-bangunan yang lain serta dimanfaatkan pula untuk memperindah
bahan-bahan pakia seperti kain-kain tekstil, piring, hiasan, ukir kayu atau
logam karpet dan sebagainya.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah
(750-1258H) dengan pusat pemerintahan di Bagdad, meneruskan perkembangan
kesenian Islam yang telah dirintis oleh pendahulunya dinasti Umayyah.Pada masa
ini dapat disebut pengembangan pola-pola hias yang makin diperkaya oleh seni hias
yang berasal dari Samara Mesopotamia.Pola hiasaan geometris berupa stucco,
merupakan pola yang disenangi pada masa itu. Bentuk hiasan stucco ini banyak
ditemukan di Varakhsha dekat Bukhara, yang banyak digunakan sebagai hiasan
mikhrab Masjid.
1. Seni
Hias atau Oranmen
Pada masa Abbasiyah, mengguanakan haisan sebagai penambah
keindahan bagunan makin berkembang.Pemakaian hiasan stucco dengna motif
polygonal, geometris maupun simetris makin berkembang. Hal ini terlihat pada
hiasan idinding bangunan Samarra yang dibuat pada tahun 900 M. pola hiasa
geometris adalah suatu motif hiasan yang berkembang di Asia Tengah, yang banyak
dipopulerkan oleh bani Saljuk, dan diterapkan pengunaannya sebgai hiasan mozai
pada dinding-dinding banguna masjid di Asia Tengah dan Asia kecil. Pengolahan
bentuk hiasan tersebut lebih mengarah kepada pola dekoratip dan geometris,
dimana hiasan ditulis pada batu kapur dan ditempel pada dinding mihrab maupun
dinding masjid .pada Istana-Istana Abbasiyah hiasan ini banyak dipakai untuk
memperindah bangunanya, yang dimodif dalam bentuk hiasan mozaik yang indah.
2.
Seni Kerajinan
Dalam
pertumbuhan dan perkembangan serta perkembangan seni kerajinan Islam dapat
disebutkan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa dinasti Abbasiyah
seni-seni keramik mulai berkembang yang berbentuk piring dengan dasar putih
yang dikombinasikan dengan hiasan-hiasan berwarna biru tua dan hijau tua yang
banyak mendominasi corak piring-piring Samarra (Mesopotamia).[5]
3. Seni Lukis
Seni lukis berkembang seiring dengan
perkembangan cabang-cabang seni rupa lainnya. Seni lukis dalam islam tidak
berkembang murni pada awal keuasaan Islam yang dimulai pada masa dinasti
Umayyah dan sampai pemerintahan dinasti Abbasiyah. Secara murni perkembangan
seni lukis murni baru muncul pada awal abad ke 11 M. Pada masa dinasti
Abbasiyah seni lukis sudah mulai berkembang, hal ini dibuktikan dengan sebuah
lukisan diding diketemukan disebuah istana istana Abbasiyah di Samarra
Mesopotamia, yakni istana Jausaq al-Khagani yang didirikan oleh khalifah
al-Mutasim. Lukisan ini menggambarkan dua orang wanita sedang menari. Selanjutnya
lukisan berbentuk hiasan banyak ditemukan pada setiap hasil-hasil seni kerajina
seperti keramik, tembaga, emas, perak, kaintenun, permadani dimana unsur-unsur
lukiasannya adalah gambaran-gambaran makhluk hidup seperti gambar manusia,
hewan dengan dikombinasikan dengan pola hiasan tumbuhan serta bentuk-bentuk
kaligrafi Arab[6].
Al-Manshur menghiasi kubahnya dengan
lukisan manusia kuda, khalifah yang lain, al-Amin dengan menghiasi istananya di
Tigris dengan gambar-gambar seperti singa, elang dan lumba-lumba, didalam
istananya, khalifah al-Muqtadir juga memiliki pohon perak dan emas dengan
delapan cabang melekat pada batang utama.
4. Seni Bangunan ( Arsitektur)
Pada
masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid yang mencapai puncak kejayaan kehalifahaan
dinasti Abbasiyah. Pada masa ini Harun Ar Rasid membangun kota bagdad dengan
sedemikian indahnya, sehingga kota ini dijuluki sebgai kota penuh dengan
keajaiban dan keindahan. Kemudian dilanjutkan oleh anaknya Khalifah Makmun Al
Rasyid. Pembangunan awal kota bagdad mula-mula dirintis oleh Khalifah Abu
Ja’far al Mansur dan dilanjutkan oleh keturunanya.[7]
Khalifahan Harun Al Rasyid serta anaknya
Makmun Al Rasyid membangun kota bagdad dengan penuh keindahan dengan menerapkan
konsep-konsep seni Arsitektur antara lain Arsitektur Byzantiyum dan Sassanide
Persia. Sehingga akan kelihatan corak seni banguna yang lebih anggun dan indah
yang dipadukandalam satu bentuk dan corak yakni seni bangunan Persia.[8]
Bangunan yang pernah
menghiasi kota Al Mansur dan Al Rasyid yaitu Masjid Damaskuus dan masjid Agung
Yerussalem yang berasal dari kekhalahifahan Umayyah yang pada saat ini sudah
tidak banyak ditemukan monument-monumennya. Yang masih terdapat bukti sejarah
yang menggambarkan kemajuan seni arsitektur adalah menara Malawiyah yang berada
di kompleks masjid angung Samrra.
Saat
ini, tidak tersisa sedikitpun jejak dari monument-monumen arsitektual yang
pernah menghiasi kota al-Manshur dan al-Rasyid, selain dua bangunan agung yaitu
masjid di Damaskus dan Kubah Agung di Yerussalem yang berasal dari periode awal
kekhalifahan Umayyah. Bahkan istana khalifah, yang disebut Gerbang Emas atau
kubah hijau, dibangun oleh pendiri Baghdad, sebagaimana istana Rusafah, untuk
para mahkotanya, al-Mahdi ; istana-istana penguasa Barmaki di Syammasiyah;
istana Pleiades (al-tsurayyah), yang untuk membangunnganya al-Mu’tadid
menghabiskan sekitar 400.000 dinar.
Diluar
kota tidak ada reruntuhan yang bisa ditelusuri jejaknya (dengan tingkat
probabilitas apapun) hingga masa kekhalifahan al-Mu’tasim. Pendiri ibu kota
Samarra, dan anaknya al-Mutawakkil, yang membangun masjid agung Samarra. Masjid
jami’ ini, berbentuk segi empat dengan bentuk jendela melengkung dan dilapisi
timah memberi kesan adanya pengaeuh india. Di masjid Samarra, maupun di masjid
Abu al-Dulaf yang terletak didekat Sammra, tidak ada jejak sedikitpun yang
menunjukkan adanya mihrab disisi arah Kiblat.Tampak dinding mihrab merupakan
penemuan bangsa Suria sebagaimana ditunjukkan oleh rancangannya yang hampir
menyerupai altar gereja Kristen. Dibagian luar, berhadapan dengan dinding
masjid agung samarra, terdapat satu menara yang serupa dengan bangunan Zigurat
dari Babilonia kuno. Ibnu thulun meniru bentuk menara itu untuk membangun
menara masjidnya.Setelah renovasi masjid Amr dan Nilometer, struktur lengkungan
lancip, digunakan juga didalam masjid ibn Thulun.
C.
Sasatra
Pada masa awal kekuasaan Abbasiyah terjadi
gerkan yang unik yang dilakukan oleh orang-orang non arab yang bernama
Suyuubiyah (Nasionalisme), gerakan yang bertujuna untuk menentang superioritas
bangsa arab terhadap non Arab. Gerakan ini diambil dari koskata Al-Qur’an yang
artinya persamaan dan persaudaran diantara semua orang Islam. Bentuk perlawanan
ini secara umum adalah perlawana Satra, mereka beranggapan bahwa orang-orang
non Arab juga bisa menandingi sastra yang dimiliki oleh orang Arab, hingga dari
sinilah sastra pada masa Abbasiyah sangat berkembang Karena adanya perasingan
tersebut.[9]
Sasatra terutama sasata arab mencapi
puncakanya pada abad ke 4-5 Hijriyah melauli karyanya Badi’ al-Zaman al
Hmadzani dari Nasabur.Salah satu cirri khas penulisan prosa pada masa itu
adalah respon atas pengaruh Persia untuk menggunakan ungkapan Hiperbolik dan
bersayap.Uangkapan yang tegas, singkat, dan sederhana yang sebelumnya digunakan
telah ditinggalkan dan diganti.[10]
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa
Abbasiyah adalah Abu Nawas Seorang penyair terkenal dengan karya humoranya yang
hidup pada Masa Harun Al Rasyid dan An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa
Lailah (The Arabia Night), adalah cerita seribu satu malam yang terkenal
dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa Dunia.
Dalam bidang puisi karya-karya syair pra
islam tentang kepahlawanan jahiliyah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada
masa dinasti Abbasiyah, yang dipandang sebagai karya klasik oleh penyair
Abbasiyyah. Juga dukungan para khalifah yang memunculkan banyak penyair,
cenderung menghasilkan penyimpang dari jejak-jejak klasik yang telah berakar,
dan sebagai gantinya muncul bentuk-bentuk penulisan puisi baru. Pendukung
paling awal dari gaya baru penulisan puisi ini adalah Basyasyar bin burd dari
Persia, seorang buta yang dihukum mati tahun 783 pada masa al-Mahdi. Basyar yang
pernah bersyukur kepada Allah karena telah menciptakannya dalam keadaan buta.
D. Seni Musik
Larangan para ahli fikih terhadap musik
dan alat musik tidak berlaku efektif di Bagdad disbanding yang terjadi di
Damskus, salah satu buktinnya bisa dilihat dari ketertarikan seorang penguasa
Abbasiyah al-Mahdi dibidang kesenian ini. Penguasa Abbasiyah, al-Mahdi sering
mengundang dan melindungi Siyath dari Makkah, nyanyiannya lebih banyak
memberikan nuansa kehangatan, muridnya Ibrahim al-Maushili menjadi pengusung
kedua musik klasik setelah gurunya. Ibrahim mempunyai pesaing yang lebih muda
yaitu ibn Jami’, seorang keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath.Ketika seorang
menteri istana dimintai pendapat oleh al-Rasyid tentang Ibn Jami’ seorang
keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath.Istana al-Rasyid yang telah diperbaiki
dengan semarak sangat menyokong dan melindungi perkembangan musik dan nyanyian
(sebagaimana yang mereka lakukan pada ilmu pengetahuan dan kesenian lainnya)
sehingga istana menjadi pusat perkembangan dan perkumpulan para bintang
musik.Fenomena para musisi yang mendapatkan gaji rutin dan selalu ditemani oleh
para budak biduan, baik laki-laki dan perempuan.Al-Ma’mun dan al-Mutawakkil
mempunyai seorang teman minum, yaitu Ishaq ibn Ibrahim al-Maushili, guru para
musisi yang seusia dengannya.Setelah ayahnya, Ishaq merupakan ahli musik Arab
klasik yang mumpuni. Sebagai seorang musisi kondang, ia adalah musisi terbesar
yang pernah dilahirkan Islam. Para penyanyi, komposer, penyair dan para sarjana
yang mendapatkan pendidikan yang baik pada masanya.Di bawah mereka, berderet
para instrumentalis (dharib), dengan lute sebagai instrumen yang paling
diminati, biola (rabab) banyak dimainkan oleh para pemusik yang lebih rendah
tingkatannya.Tingkatan berikutnya ditempati oleh para biduan (qa’inah), yang
bernyanyi dibalik tirai mengikuti aturan dan alunan nada tertentu.[11]
DAFTAR
PUSTAKA
C.Israr, Sejarah Kesenin Islam 2, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978
Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam Bandung:
Rosdakarya, 2000
Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan
dan perkembangan, Bandung: Angkasa, 1993
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013
[1] C.Israr, Sejarah Kesenin
Islam 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal 10-12
[2] Drs. D. Sirijuddin AR. Seni
Kaligrafi Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm 3
[3] Drs. Oloan Situmorang,Seni
Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal 64
[4] Drs. D. Sirijuddin AR. Seni
Kaligrafi Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm 85-86
[5] Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan,
(Bandung: Angkasa, 1993), hal 104-110
[9]Philip K Hitty, History Of
Arab, ( Jakarta: Serambi2002), hlm 503
[10] Philip K Hitty, History Of
Arab, ( Jakarta: Serambi2002), hlm 504-505
[11]Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar