Sabtu, 26 Agustus 2017

SEJARAH KESENIAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH

SEJARAH KESENIAN ISLAM
PADA MASA ABBASIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Sejarah Keseniai Islam

Dosen Pembimbing:
Abdurrahman, M. Hum

Oleh:

Ahmad Khoiron Minan        (A72214030)


JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016


KESENIAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH


A.      Seni Tulis
1.    Tulis Arab
      Seperti yang sudah dijelasakan dipresentasi sebelumnya bahwa tulisan arab sudah ada sebelum datangnya Islam yang berasal dari tulisan Himyar (yaman) kemudian berkembang ketika Islam hadir di negri Arab. Pada masa Khulafaur Rasyidin dengan diadakannya pembukuan Al-Qur’an maka seni tulis Arab semakin berkembang. Fungsi besar dari tulisan arab, yaitu ketika dimulainnya pelaksanaan “Tadwinul-hadist” yaitu usaha untuk menuiskan dan membukukan segala hadist Nabi SAW, karena sudah banyak sekali orang yang berani menciptakan hadist palsu. Tadwinul-hadist dimulai pada masa kehalifahan Umayyah yaitu pada masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian diteruskan pada masa Dinasti Abbasiyah yaitu seorang ahli hadist yang terbesar yaitu Muhammad bin Isma’il Al Bukhary (790-896 M) yang tekenal dengan kitab Sahih Bukhary, kemudian usaha besarnya diikuti oleh muridnya Muslim ibnu Al- Hujjad (819-874) yang terkenal dengan nama Sahih Muslim, selain itu ada enam buah kitab hadist yang termasyhur yang disebut “Kutubussittah” yang kesemuanya ditulis pada masa kehalifahan Abbasiyah, ini menujukan berkembangnya seni tulis arab. Selain masih banyak sekail yang menujukan berkembangnya seni tulis seperti penerjamahan filsafat yunani kuno dan buku-buku islam lainnya.[1]
2.    Seni Kaligrafi
Seni tulis indah atau seni kaligrafi adalah suatu seni tulisa yang bersumber dari tulisan arab,ungkapan kaligrafi berasal dari bahasa inggris yang disederhanakan, calligraphy diambil dari kata latin “Kalios” yang berarti indah dan “Graph” yang berarti tulisan atau aksara.[2]Dalam bahasa Arab menyebutnya khat perkembangannya telah dimuali sejak berabad-abad yang lampau dimuali dari pemerintahan dinasti Ummayah dengan pusatanya di Damaskus dan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.[3]pada khalifah Abdullah Al-Saffah atau khalifah pertama dinasti Abbasiyah, muncul 2 tokoh kaligrafer asal Syiria yaitu Al-Dahhak bin Ajlan dan Ishak bin Hammad. Pada masa khalifahan Abu Ja’fal Al Mansur Ishak masih hidup dan memperkenalkan Kaligrafi gaya Sulus dan Sulusayn, kemudian dikembangkan oleh muridnya Yusuf Al-Sijzi. Fal bin Sahl wazir dari  Khalifah Al-Makmum member apresisai khusus kepada tulisan-tulisan tersebut, hingga memerintahkan pemakainnya untuk seluruh penulisan dan registrasi kantor. Tulisan tersebut lantas dinamakan Riyasi.
Selanjutanya terjadi penyempuranaan tulisan tersebut yang dilakukan oleh saudara Yusuf sendiri, Ibrahin al-Sijzi yang kemudian diturunkan kepada muritnya yang termasyhur yang mendapat jilikan Al-Ahwal (Simata Juling).Nama ini yang kemudian mengembangkan kaligrafi di zaman modern di masa-masa berikutnya. Adapun gaya kaligrafi yang berkembang pada masa dinast Abbasiyah seperti Suluts, Naskhi, Sulusain dan lain sebagainnya.[4]
B.  Seni hias dan Kerajinan
      Dalam perkembangan Seni Rupa Islam, seni hias dan seni kerajinan tidak dapat dipisahkan dalam aspek penciptaannya dan penggunaannya sebagai hasil dari seni Islam. Dalam penggunaannya , seni hias sangat penting sebagai bahan dekorasi pada setiap bangunan masjid maupum bagunan-bangunan yang lain serta dimanfaatkan pula untuk memperindah bahan-bahan pakia seperti kain-kain tekstil, piring, hiasan, ukir kayu atau logam karpet dan sebagainya.
      Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah (750-1258H) dengan pusat pemerintahan di Bagdad, meneruskan perkembangan kesenian Islam yang telah dirintis oleh pendahulunya dinasti Umayyah.Pada masa ini dapat disebut pengembangan pola-pola hias yang makin diperkaya oleh seni hias yang berasal dari Samara Mesopotamia.Pola hiasaan geometris berupa stucco, merupakan pola yang disenangi pada masa itu. Bentuk hiasan stucco ini banyak ditemukan di Varakhsha dekat Bukhara, yang banyak digunakan sebagai hiasan mikhrab Masjid.
1.    Seni Hias atau Oranmen
         Pada masa Abbasiyah, mengguanakan haisan sebagai penambah keindahan bagunan makin berkembang.Pemakaian hiasan stucco dengna motif polygonal, geometris maupun simetris makin berkembang. Hal ini terlihat pada hiasan idinding bangunan Samarra yang dibuat pada tahun 900 M. pola hiasa geometris adalah suatu motif hiasan yang berkembang di Asia Tengah, yang banyak dipopulerkan oleh bani Saljuk, dan diterapkan pengunaannya sebgai hiasan mozai pada dinding-dinding banguna masjid di Asia Tengah dan Asia kecil. Pengolahan bentuk hiasan tersebut lebih mengarah kepada pola dekoratip dan geometris, dimana hiasan ditulis pada batu kapur dan ditempel pada dinding mihrab maupun dinding masjid .pada Istana-Istana Abbasiyah hiasan ini banyak dipakai untuk memperindah bangunanya, yang dimodif dalam bentuk hiasan mozaik yang indah.
2.   Seni Kerajinan
         Dalam pertumbuhan dan perkembangan serta perkembangan seni kerajinan Islam dapat disebutkan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa dinasti Abbasiyah seni-seni keramik mulai berkembang yang berbentuk piring dengan dasar putih yang dikombinasikan dengan hiasan-hiasan berwarna biru tua dan hijau tua yang banyak mendominasi corak piring-piring Samarra (Mesopotamia).[5]
3.   Seni Lukis
        Seni lukis berkembang seiring dengan perkembangan cabang-cabang seni rupa lainnya. Seni lukis dalam islam tidak berkembang murni pada awal keuasaan Islam yang dimulai pada masa dinasti Umayyah dan sampai pemerintahan dinasti Abbasiyah. Secara murni perkembangan seni lukis murni baru muncul pada awal abad ke 11 M. Pada masa dinasti Abbasiyah seni lukis sudah mulai berkembang, hal ini dibuktikan dengan sebuah lukisan diding diketemukan disebuah istana istana Abbasiyah di Samarra Mesopotamia, yakni istana Jausaq al-Khagani yang didirikan oleh khalifah al-Mutasim. Lukisan ini menggambarkan dua orang wanita sedang menari. Selanjutnya lukisan berbentuk hiasan banyak ditemukan pada setiap hasil-hasil seni kerajina seperti keramik, tembaga, emas, perak, kaintenun, permadani dimana unsur-unsur lukiasannya adalah gambaran-gambaran makhluk hidup seperti gambar manusia, hewan dengan dikombinasikan dengan pola hiasan tumbuhan serta bentuk-bentuk kaligrafi Arab[6].
        Al-Manshur menghiasi kubahnya dengan lukisan manusia kuda, khalifah yang lain, al-Amin dengan menghiasi istananya di Tigris dengan gambar-gambar seperti singa, elang dan lumba-lumba, didalam istananya, khalifah al-Muqtadir juga memiliki pohon perak dan emas dengan delapan cabang melekat pada batang utama.
4.    Seni Bangunan ( Arsitektur)
  Pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid yang mencapai puncak kejayaan kehalifahaan dinasti Abbasiyah. Pada masa ini Harun Ar Rasid membangun kota bagdad dengan sedemikian indahnya, sehingga kota ini dijuluki sebgai kota penuh dengan keajaiban dan keindahan. Kemudian dilanjutkan oleh anaknya Khalifah Makmun Al Rasyid. Pembangunan awal kota bagdad mula-mula dirintis oleh Khalifah Abu Ja’far al Mansur dan dilanjutkan oleh keturunanya.[7]
        Khalifahan Harun Al Rasyid serta anaknya Makmun Al Rasyid membangun kota bagdad dengan penuh keindahan dengan menerapkan konsep-konsep seni Arsitektur antara lain Arsitektur Byzantiyum dan Sassanide Persia. Sehingga akan kelihatan corak seni banguna yang lebih anggun dan indah yang dipadukandalam satu bentuk dan corak yakni seni bangunan Persia.[8]
  Bangunan  yang pernah menghiasi kota Al Mansur dan Al Rasyid yaitu Masjid Damaskuus dan masjid Agung Yerussalem yang berasal dari kekhalahifahan Umayyah yang pada saat ini sudah tidak banyak ditemukan monument-monumennya. Yang masih terdapat bukti sejarah yang menggambarkan kemajuan seni arsitektur adalah menara Malawiyah yang berada di kompleks masjid angung Samrra.
  Saat ini, tidak tersisa sedikitpun jejak dari monument-monumen arsitektual yang pernah menghiasi kota al-Manshur dan al-Rasyid, selain dua bangunan agung yaitu masjid di Damaskus dan Kubah Agung di Yerussalem yang berasal dari periode awal kekhalifahan Umayyah. Bahkan istana khalifah, yang disebut Gerbang Emas atau kubah hijau, dibangun oleh pendiri Baghdad, sebagaimana istana Rusafah, untuk para mahkotanya, al-Mahdi ; istana-istana penguasa Barmaki di Syammasiyah; istana Pleiades (al-tsurayyah), yang untuk membangunnganya al-Mu’tadid menghabiskan sekitar 400.000 dinar.
  Diluar kota tidak ada reruntuhan yang bisa ditelusuri jejaknya (dengan tingkat probabilitas apapun) hingga masa kekhalifahan al-Mu’tasim. Pendiri ibu kota Samarra, dan anaknya al-Mutawakkil, yang membangun masjid agung Samarra. Masjid jami’ ini, berbentuk segi empat dengan bentuk jendela melengkung dan dilapisi timah memberi kesan adanya pengaeuh india. Di masjid Samarra, maupun di masjid Abu al-Dulaf yang terletak didekat Sammra, tidak ada jejak sedikitpun yang menunjukkan adanya mihrab disisi arah Kiblat.Tampak dinding mihrab merupakan penemuan bangsa Suria sebagaimana ditunjukkan oleh rancangannya yang hampir menyerupai altar gereja Kristen. Dibagian luar, berhadapan dengan dinding masjid agung samarra, terdapat satu menara yang serupa dengan bangunan Zigurat dari Babilonia kuno. Ibnu thulun meniru bentuk menara itu untuk membangun menara masjidnya.Setelah renovasi masjid Amr dan Nilometer, struktur lengkungan lancip, digunakan juga didalam masjid ibn Thulun.
C.     Sasatra
      Pada masa awal kekuasaan Abbasiyah terjadi gerkan yang unik yang dilakukan oleh orang-orang non arab yang bernama Suyuubiyah (Nasionalisme), gerakan yang bertujuna untuk menentang superioritas bangsa arab terhadap non Arab. Gerakan ini diambil dari koskata Al-Qur’an yang artinya persamaan dan persaudaran diantara semua orang Islam. Bentuk perlawanan ini secara umum adalah perlawana Satra, mereka beranggapan bahwa orang-orang non Arab juga bisa menandingi sastra yang dimiliki oleh orang Arab, hingga dari sinilah sastra pada masa Abbasiyah sangat berkembang Karena adanya perasingan tersebut.[9]
      Sasatra terutama sasata arab mencapi puncakanya pada abad ke 4-5 Hijriyah melauli karyanya Badi’ al-Zaman al Hmadzani dari Nasabur.Salah satu cirri khas penulisan prosa pada masa itu adalah respon atas pengaruh Persia untuk menggunakan ungkapan Hiperbolik dan bersayap.Uangkapan yang tegas, singkat, dan sederhana yang sebelumnya digunakan telah ditinggalkan dan diganti.[10]
      Salah satu tokoh yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah Abu Nawas Seorang penyair terkenal dengan karya humoranya yang hidup pada Masa Harun Al Rasyid dan An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (The Arabia Night), adalah cerita seribu satu malam yang terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa Dunia.
      Dalam bidang puisi karya-karya syair pra islam tentang kepahlawanan jahiliyah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada masa dinasti Abbasiyah, yang dipandang sebagai karya klasik oleh penyair Abbasiyyah. Juga dukungan para khalifah yang memunculkan banyak penyair, cenderung menghasilkan penyimpang dari jejak-jejak klasik yang telah berakar, dan sebagai gantinya muncul bentuk-bentuk penulisan puisi baru. Pendukung paling awal dari gaya baru penulisan puisi ini adalah Basyasyar bin burd dari Persia, seorang buta yang dihukum mati tahun 783 pada masa al-Mahdi. Basyar yang pernah bersyukur kepada Allah karena telah menciptakannya dalam keadaan buta.

D.  Seni Musik
      Larangan para ahli fikih terhadap musik dan alat musik tidak berlaku efektif di Bagdad disbanding yang terjadi di Damskus, salah satu buktinnya bisa dilihat dari ketertarikan seorang penguasa Abbasiyah al-Mahdi dibidang kesenian ini. Penguasa Abbasiyah, al-Mahdi sering mengundang dan melindungi Siyath dari Makkah, nyanyiannya lebih banyak memberikan nuansa kehangatan, muridnya Ibrahim al-Maushili menjadi pengusung kedua musik klasik setelah gurunya. Ibrahim mempunyai pesaing yang lebih muda yaitu ibn Jami’, seorang keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath.Ketika seorang menteri istana dimintai pendapat oleh al-Rasyid tentang Ibn Jami’ seorang keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath.Istana al-Rasyid yang telah diperbaiki dengan semarak sangat menyokong dan melindungi perkembangan musik dan nyanyian (sebagaimana yang mereka lakukan pada ilmu pengetahuan dan kesenian lainnya) sehingga istana menjadi pusat perkembangan dan perkumpulan para bintang musik.Fenomena para musisi yang mendapatkan gaji rutin dan selalu ditemani oleh para budak biduan, baik laki-laki dan perempuan.Al-Ma’mun dan al-Mutawakkil mempunyai seorang teman minum, yaitu Ishaq ibn Ibrahim al-Maushili, guru para musisi yang seusia dengannya.Setelah ayahnya, Ishaq merupakan ahli musik Arab klasik yang mumpuni. Sebagai seorang musisi kondang, ia adalah musisi terbesar yang pernah dilahirkan Islam. Para penyanyi, komposer, penyair dan para sarjana yang mendapatkan pendidikan yang baik pada masanya.Di bawah mereka, berderet para instrumentalis (dharib), dengan lute sebagai instrumen yang paling diminati, biola (rabab) banyak dimainkan oleh para pemusik yang lebih rendah tingkatannya.Tingkatan berikutnya ditempati oleh para biduan (qa’inah), yang bernyanyi dibalik tirai mengikuti aturan dan alunan nada tertentu.[11]


DAFTAR PUSTAKA

C.Israr, Sejarah Kesenin Islam 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam Bandung: Rosdakarya, 2000
Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, Bandung: Angkasa, 1993
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013





[1] C.Israr, Sejarah Kesenin Islam 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal 10-12
[2] Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm 3
[3] Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal 64
[4] Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm 85-86
[5] Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal 104-110
[6]Ibid, hal 135-136
[7]Ibid, hal 15
[8]Ibid, hal 16
[9]Philip K Hitty, History Of Arab, ( Jakarta: Serambi2002), hlm 503
[10] Philip K Hitty, History Of Arab, ( Jakarta: Serambi2002), hlm 504-505
[11]Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar