Sabtu, 26 Agustus 2017

Hukum Kausalitas

BAB I
PENDAHULUAN

   A.    LATAR BELAKANG

Sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri, artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri. Sejarah berarti menafsirkan , memahami,dan mengerti. Kita mualia dengan menunjukan ke khasan sejarah sebagai ilmu. Will Helm Diel They 1833-1911 membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu tentang dunia luar dan ilmu tentang dunia dalam. Ilmu tentang dunia luar adalah ilmu yang mempelajari tentang alam, sedangkan ilmu tentang dunia dalam adalah ilm-ilmu  kemanusiaan humanities, human studies, cultural sciences dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dimasukannya sejarah, ekonomi, sosiologi, anntropologi social, psikologi, perbandingan agama, hokum politik, filologi dan kritik sastra.
Sejarah memiliki pola memanjang dalam waktu dan terbatas dalam ruang, sejarah adalah proses dan sejarah adalah perkembangan. Dalam sejarah sangat erat kaitanya dengan Kausalitas atau kita lebih mengenal dengan hubungan sebab-akibat, dimana peristiwa sejarah selalu ada sebab yang mendahului sebelum sebuah peristiwa itu terjadi (akibat), oleh sebab itu kita akan membahas lebih jauh tentang teori kausalitas sejarah.

   B.   RUMUSAN MASALAH

1.      Pengertian teori kausalitas ?
2.      Prisip-prinsip kausalitas?
3.      Teori-teori kausalitas dalam sejarah?
4.      Kausalitas dalam sejarah?




BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN KAUSALITAS
Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat yang ilmu dan pengetahuannya bisa diketahuai tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantara ilmu lainnya dan pasti ada dalam setiap kejadian.[1] Beberapa filusuf mendefinisikan tentang makana dari kausalitas sebagai berikut:
1.    Al-Farabi berkata, “Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersamaan dengan akibat”
2.    Ibnu Sina menyatakan, “Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan sesuatu yang lain, dan akibat mesti aktual karena keatualan sebabnya”
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahawa sebeb merupakan realitas wujud yang meniscayakan keberdantungan mutlak dan hakiki segala eksistensi eksternal lainnya.[2]
Baqir Ash-shadr, menyebutkan tiga hukum kausalitas yang menjadi sandaran ilmu pengetahuan yaitu:
1.      Prisip kausalitas menyatakan bahawa setiap peristiwa selalu mempunyai sebab.
2.      Hukum keniscayaan yang mengatakan bahawa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alaminya, dan bahawa akibar tidak akan lepas dari sebabnya.
3.      Hukum keselarasan antara sebab dan akibat mengatakan bahwa setiap himpunan alam secara esensialselaras mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya.[3]
Jadi secara garis besar dapat disimpulkan bahawa  kausalitas sejarah adalah sebab peristiwa sejarah.

B.    TEORI-TEORI KAUSALITAS
Kausalitas menyangkut hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa. Pengetahuan tentang hubungan sebab akibat tersebut sangat penting dalam pembelajaran sejarah, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa suatu peristiwa terjadi? Jawaban terhadap pertanyaan menagap itu menngharuskan adanya sebuah uraian tentang sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya sebuah peristiwa. Sebagai contoh, mengapa terjadi perang Dunia II pada tahun 1939? Mengapa Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945? Kedua pertanyaa ini harus dijawab dengan menguraikan penyebab-penyebabnya. Uraian penyebab ini dalam ilmu sejarah disebut sebagai kausalitas. Ada dua teori kausalitas, yaitu monokausalitas dan multikausalitas.

1. Monokausalitas
Monokausalitas adalah teori hubungan sebab akibat yang pertama kali muncul dalam ilmu sejarah. Teori ini bersifat deterministic (ketergantungan), yakni mengembalikan kausalitas suatu peristiwa, keadaan, atau perkembangan kepada satu faktor saja. Faktor itu dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor yang menjadi faktor kausal.
Deterministik dalam monokausalitas terdiri dari determinstik geografis, deterministik rasial, dan deterministuk ekonomis. Menurut teori determinisme geografis ini bahwa faktor geografi atau lokasi tempat tinggal merupakan penyebab tunggal dari sebuah peistiwa, keadaan ataupun perkembangan suatu bangsa. Sebagai contoh, bangsa-bangsa di negeri dingin pada umumnya maju oleh karena kondisi ekologinya menuntut “jiwa” yang mampu menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi alamiah yang berat. Sebaliknya, di negeri panas (tropika) alam sangat memudahkan hidup sehingga tidak menimbulkan banyak tantangan. Sementara deterministic rasila lebih menekankan faktor biologis sebagai penentu kemajuan suatu bangsa.
Sejalan dengan pemikiran tunggal, deterministic ekonomis menganggap faktor ekonomi sebagai penyebab tunggal perkembangan masyarakat. Menurut deterministic ekonomis bahwa seluruh lembaga social, politik dan cultural ditentukan oleh proses ekonomis, khususnya sistem produksi. Sebagai contoh, sistem produksi agraris dengan teknologi tradisional menciptakan struktur politik dan social yang bersifat feodalistik. Keduanya berkisat sekitar hubungan antara tuan tanah dan penggarap atau buruh tani.

2. Multikausalitas   
Teori kausalitas yang kedua adalah multikausalitas, yakni menjelaskan suatu peristiwa dengan memperhatikan berbagai penyebab. Multikausalitas didasarkan pada perspektivisme, yaitu pandangan terhadap permasalahan yang mendekati dari berbagai segi atau aspek dan perspektif. Perspektivisme di sini berkaitan dengan konsep dan pendekatan sistem. Pendekatan ini beranggapan bahwa antar unsure-unsur ada saling ketergantungan serta saling berhubungan. Dalam kaitannya dengan mencari kausalitas, maka dalam hal ini lebih ditekankan adanya kausalitas dan bukan monokausalitas. Disinilah letak perbedaan antara perspektivisme dengan determinisme. 
Kemunculan multikausalitas disebabkan oleh keteidakmampuan monokausalitas dalam menjelaskan peristiwa, keadaan atau perkembangan. Sebagai contoh, penjelasan tentang Perang Dunia Pertama.
Dalam teori monokausalitas, perang ini dijelaskan sebagai akibat dari ditembak matinya putra mahkota Kerajaan Austria di Sarajevo pada tahun 1914. Multikausalitas tidak puas dengan penjelasan yang menempatkan penembakan putra mahkota Kerajaan Austria itu sebagai penyebab tunggal meletusnya Perang Dunia I tersebut. Menurut teori multikausalitas bahwa Perang Dunia I disebabkan berbagai faktor menyangkut situasi hubungan internasional pada saat itu. [4]





BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Bahwa setiap peristiwa sejarah pasti terdapat sebabnya dan sebab itu tak akan lepas dari akibat dan seperti itu pula akibat tidak akan mampu lepas dari sebabnya karena keduanya ini tak dapat dipisahkan ini lah yang dimaksut dengan kausalitas dimana dalam teori kausalitas itu di bagi menjadi monokausalitas dan multikausalitas, monokausalitas artinya adalah sebab itu hanya di pandang pada satu faktor saja misalkan dalam sebab dibidang ekonomi, politik tapi dalam teori ini masih banyak kekurangan oleh sebab itu terlahirlah teori multukausalistik dimana sebab disini tidak dipandang dari satu aspek atau sudut pandang, tapi dilihat dari berbagai banya sebab.tapi yang perlu di perhatiakan bahawa sebab itu hanyalah analisi para sejarawan jadi itu bukan kebenaran mutlak karena mungkin suatu saat akan ada sebab baru yang akan di argumentasiakan oleh para sejarawan lain dengan bukti-bukti yang lebih kuat.



[1] Dikutip Dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kausalitas. pada (18/04/2015) jam 21:11
[2] Mohammad Adlany. Keberadaan Tuhan. Sumber:http://maulanusantara.wordpress.com /2012/01/05/ keberadaan-tuhan/ (diakses: 18/04/2015)
[3] Baqir Ash-Sharda, Falsatuna, terj. Muhammad Mufid, Mizan, Bandung 1991. hlm 209
[4] Dikutip dari http://sejarahkelasx.blogspot.com/2014/09/kemampuan-berpikir-kausalitas.html. pada (18/04/2015) jam 21:18

SEJARAH KESENIAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH

SEJARAH KESENIAN ISLAM
PADA MASA ABBASIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Sejarah Keseniai Islam

Dosen Pembimbing:
Abdurrahman, M. Hum

Oleh:

Ahmad Khoiron Minan        (A72214030)


JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016


KESENIAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH


A.      Seni Tulis
1.    Tulis Arab
      Seperti yang sudah dijelasakan dipresentasi sebelumnya bahwa tulisan arab sudah ada sebelum datangnya Islam yang berasal dari tulisan Himyar (yaman) kemudian berkembang ketika Islam hadir di negri Arab. Pada masa Khulafaur Rasyidin dengan diadakannya pembukuan Al-Qur’an maka seni tulis Arab semakin berkembang. Fungsi besar dari tulisan arab, yaitu ketika dimulainnya pelaksanaan “Tadwinul-hadist” yaitu usaha untuk menuiskan dan membukukan segala hadist Nabi SAW, karena sudah banyak sekali orang yang berani menciptakan hadist palsu. Tadwinul-hadist dimulai pada masa kehalifahan Umayyah yaitu pada masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian diteruskan pada masa Dinasti Abbasiyah yaitu seorang ahli hadist yang terbesar yaitu Muhammad bin Isma’il Al Bukhary (790-896 M) yang tekenal dengan kitab Sahih Bukhary, kemudian usaha besarnya diikuti oleh muridnya Muslim ibnu Al- Hujjad (819-874) yang terkenal dengan nama Sahih Muslim, selain itu ada enam buah kitab hadist yang termasyhur yang disebut “Kutubussittah” yang kesemuanya ditulis pada masa kehalifahan Abbasiyah, ini menujukan berkembangnya seni tulis arab. Selain masih banyak sekail yang menujukan berkembangnya seni tulis seperti penerjamahan filsafat yunani kuno dan buku-buku islam lainnya.[1]
2.    Seni Kaligrafi
Seni tulis indah atau seni kaligrafi adalah suatu seni tulisa yang bersumber dari tulisan arab,ungkapan kaligrafi berasal dari bahasa inggris yang disederhanakan, calligraphy diambil dari kata latin “Kalios” yang berarti indah dan “Graph” yang berarti tulisan atau aksara.[2]Dalam bahasa Arab menyebutnya khat perkembangannya telah dimuali sejak berabad-abad yang lampau dimuali dari pemerintahan dinasti Ummayah dengan pusatanya di Damaskus dan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad.[3]pada khalifah Abdullah Al-Saffah atau khalifah pertama dinasti Abbasiyah, muncul 2 tokoh kaligrafer asal Syiria yaitu Al-Dahhak bin Ajlan dan Ishak bin Hammad. Pada masa khalifahan Abu Ja’fal Al Mansur Ishak masih hidup dan memperkenalkan Kaligrafi gaya Sulus dan Sulusayn, kemudian dikembangkan oleh muridnya Yusuf Al-Sijzi. Fal bin Sahl wazir dari  Khalifah Al-Makmum member apresisai khusus kepada tulisan-tulisan tersebut, hingga memerintahkan pemakainnya untuk seluruh penulisan dan registrasi kantor. Tulisan tersebut lantas dinamakan Riyasi.
Selanjutanya terjadi penyempuranaan tulisan tersebut yang dilakukan oleh saudara Yusuf sendiri, Ibrahin al-Sijzi yang kemudian diturunkan kepada muritnya yang termasyhur yang mendapat jilikan Al-Ahwal (Simata Juling).Nama ini yang kemudian mengembangkan kaligrafi di zaman modern di masa-masa berikutnya. Adapun gaya kaligrafi yang berkembang pada masa dinast Abbasiyah seperti Suluts, Naskhi, Sulusain dan lain sebagainnya.[4]
B.  Seni hias dan Kerajinan
      Dalam perkembangan Seni Rupa Islam, seni hias dan seni kerajinan tidak dapat dipisahkan dalam aspek penciptaannya dan penggunaannya sebagai hasil dari seni Islam. Dalam penggunaannya , seni hias sangat penting sebagai bahan dekorasi pada setiap bangunan masjid maupum bagunan-bangunan yang lain serta dimanfaatkan pula untuk memperindah bahan-bahan pakia seperti kain-kain tekstil, piring, hiasan, ukir kayu atau logam karpet dan sebagainya.
      Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah (750-1258H) dengan pusat pemerintahan di Bagdad, meneruskan perkembangan kesenian Islam yang telah dirintis oleh pendahulunya dinasti Umayyah.Pada masa ini dapat disebut pengembangan pola-pola hias yang makin diperkaya oleh seni hias yang berasal dari Samara Mesopotamia.Pola hiasaan geometris berupa stucco, merupakan pola yang disenangi pada masa itu. Bentuk hiasan stucco ini banyak ditemukan di Varakhsha dekat Bukhara, yang banyak digunakan sebagai hiasan mikhrab Masjid.
1.    Seni Hias atau Oranmen
         Pada masa Abbasiyah, mengguanakan haisan sebagai penambah keindahan bagunan makin berkembang.Pemakaian hiasan stucco dengna motif polygonal, geometris maupun simetris makin berkembang. Hal ini terlihat pada hiasan idinding bangunan Samarra yang dibuat pada tahun 900 M. pola hiasa geometris adalah suatu motif hiasan yang berkembang di Asia Tengah, yang banyak dipopulerkan oleh bani Saljuk, dan diterapkan pengunaannya sebgai hiasan mozai pada dinding-dinding banguna masjid di Asia Tengah dan Asia kecil. Pengolahan bentuk hiasan tersebut lebih mengarah kepada pola dekoratip dan geometris, dimana hiasan ditulis pada batu kapur dan ditempel pada dinding mihrab maupun dinding masjid .pada Istana-Istana Abbasiyah hiasan ini banyak dipakai untuk memperindah bangunanya, yang dimodif dalam bentuk hiasan mozaik yang indah.
2.   Seni Kerajinan
         Dalam pertumbuhan dan perkembangan serta perkembangan seni kerajinan Islam dapat disebutkan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa dinasti Abbasiyah seni-seni keramik mulai berkembang yang berbentuk piring dengan dasar putih yang dikombinasikan dengan hiasan-hiasan berwarna biru tua dan hijau tua yang banyak mendominasi corak piring-piring Samarra (Mesopotamia).[5]
3.   Seni Lukis
        Seni lukis berkembang seiring dengan perkembangan cabang-cabang seni rupa lainnya. Seni lukis dalam islam tidak berkembang murni pada awal keuasaan Islam yang dimulai pada masa dinasti Umayyah dan sampai pemerintahan dinasti Abbasiyah. Secara murni perkembangan seni lukis murni baru muncul pada awal abad ke 11 M. Pada masa dinasti Abbasiyah seni lukis sudah mulai berkembang, hal ini dibuktikan dengan sebuah lukisan diding diketemukan disebuah istana istana Abbasiyah di Samarra Mesopotamia, yakni istana Jausaq al-Khagani yang didirikan oleh khalifah al-Mutasim. Lukisan ini menggambarkan dua orang wanita sedang menari. Selanjutnya lukisan berbentuk hiasan banyak ditemukan pada setiap hasil-hasil seni kerajina seperti keramik, tembaga, emas, perak, kaintenun, permadani dimana unsur-unsur lukiasannya adalah gambaran-gambaran makhluk hidup seperti gambar manusia, hewan dengan dikombinasikan dengan pola hiasan tumbuhan serta bentuk-bentuk kaligrafi Arab[6].
        Al-Manshur menghiasi kubahnya dengan lukisan manusia kuda, khalifah yang lain, al-Amin dengan menghiasi istananya di Tigris dengan gambar-gambar seperti singa, elang dan lumba-lumba, didalam istananya, khalifah al-Muqtadir juga memiliki pohon perak dan emas dengan delapan cabang melekat pada batang utama.
4.    Seni Bangunan ( Arsitektur)
  Pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid yang mencapai puncak kejayaan kehalifahaan dinasti Abbasiyah. Pada masa ini Harun Ar Rasid membangun kota bagdad dengan sedemikian indahnya, sehingga kota ini dijuluki sebgai kota penuh dengan keajaiban dan keindahan. Kemudian dilanjutkan oleh anaknya Khalifah Makmun Al Rasyid. Pembangunan awal kota bagdad mula-mula dirintis oleh Khalifah Abu Ja’far al Mansur dan dilanjutkan oleh keturunanya.[7]
        Khalifahan Harun Al Rasyid serta anaknya Makmun Al Rasyid membangun kota bagdad dengan penuh keindahan dengan menerapkan konsep-konsep seni Arsitektur antara lain Arsitektur Byzantiyum dan Sassanide Persia. Sehingga akan kelihatan corak seni banguna yang lebih anggun dan indah yang dipadukandalam satu bentuk dan corak yakni seni bangunan Persia.[8]
  Bangunan  yang pernah menghiasi kota Al Mansur dan Al Rasyid yaitu Masjid Damaskuus dan masjid Agung Yerussalem yang berasal dari kekhalahifahan Umayyah yang pada saat ini sudah tidak banyak ditemukan monument-monumennya. Yang masih terdapat bukti sejarah yang menggambarkan kemajuan seni arsitektur adalah menara Malawiyah yang berada di kompleks masjid angung Samrra.
  Saat ini, tidak tersisa sedikitpun jejak dari monument-monumen arsitektual yang pernah menghiasi kota al-Manshur dan al-Rasyid, selain dua bangunan agung yaitu masjid di Damaskus dan Kubah Agung di Yerussalem yang berasal dari periode awal kekhalifahan Umayyah. Bahkan istana khalifah, yang disebut Gerbang Emas atau kubah hijau, dibangun oleh pendiri Baghdad, sebagaimana istana Rusafah, untuk para mahkotanya, al-Mahdi ; istana-istana penguasa Barmaki di Syammasiyah; istana Pleiades (al-tsurayyah), yang untuk membangunnganya al-Mu’tadid menghabiskan sekitar 400.000 dinar.
  Diluar kota tidak ada reruntuhan yang bisa ditelusuri jejaknya (dengan tingkat probabilitas apapun) hingga masa kekhalifahan al-Mu’tasim. Pendiri ibu kota Samarra, dan anaknya al-Mutawakkil, yang membangun masjid agung Samarra. Masjid jami’ ini, berbentuk segi empat dengan bentuk jendela melengkung dan dilapisi timah memberi kesan adanya pengaeuh india. Di masjid Samarra, maupun di masjid Abu al-Dulaf yang terletak didekat Sammra, tidak ada jejak sedikitpun yang menunjukkan adanya mihrab disisi arah Kiblat.Tampak dinding mihrab merupakan penemuan bangsa Suria sebagaimana ditunjukkan oleh rancangannya yang hampir menyerupai altar gereja Kristen. Dibagian luar, berhadapan dengan dinding masjid agung samarra, terdapat satu menara yang serupa dengan bangunan Zigurat dari Babilonia kuno. Ibnu thulun meniru bentuk menara itu untuk membangun menara masjidnya.Setelah renovasi masjid Amr dan Nilometer, struktur lengkungan lancip, digunakan juga didalam masjid ibn Thulun.
C.     Sasatra
      Pada masa awal kekuasaan Abbasiyah terjadi gerkan yang unik yang dilakukan oleh orang-orang non arab yang bernama Suyuubiyah (Nasionalisme), gerakan yang bertujuna untuk menentang superioritas bangsa arab terhadap non Arab. Gerakan ini diambil dari koskata Al-Qur’an yang artinya persamaan dan persaudaran diantara semua orang Islam. Bentuk perlawanan ini secara umum adalah perlawana Satra, mereka beranggapan bahwa orang-orang non Arab juga bisa menandingi sastra yang dimiliki oleh orang Arab, hingga dari sinilah sastra pada masa Abbasiyah sangat berkembang Karena adanya perasingan tersebut.[9]
      Sasatra terutama sasata arab mencapi puncakanya pada abad ke 4-5 Hijriyah melauli karyanya Badi’ al-Zaman al Hmadzani dari Nasabur.Salah satu cirri khas penulisan prosa pada masa itu adalah respon atas pengaruh Persia untuk menggunakan ungkapan Hiperbolik dan bersayap.Uangkapan yang tegas, singkat, dan sederhana yang sebelumnya digunakan telah ditinggalkan dan diganti.[10]
      Salah satu tokoh yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah Abu Nawas Seorang penyair terkenal dengan karya humoranya yang hidup pada Masa Harun Al Rasyid dan An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (The Arabia Night), adalah cerita seribu satu malam yang terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa Dunia.
      Dalam bidang puisi karya-karya syair pra islam tentang kepahlawanan jahiliyah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada masa dinasti Abbasiyah, yang dipandang sebagai karya klasik oleh penyair Abbasiyyah. Juga dukungan para khalifah yang memunculkan banyak penyair, cenderung menghasilkan penyimpang dari jejak-jejak klasik yang telah berakar, dan sebagai gantinya muncul bentuk-bentuk penulisan puisi baru. Pendukung paling awal dari gaya baru penulisan puisi ini adalah Basyasyar bin burd dari Persia, seorang buta yang dihukum mati tahun 783 pada masa al-Mahdi. Basyar yang pernah bersyukur kepada Allah karena telah menciptakannya dalam keadaan buta.

D.  Seni Musik
      Larangan para ahli fikih terhadap musik dan alat musik tidak berlaku efektif di Bagdad disbanding yang terjadi di Damskus, salah satu buktinnya bisa dilihat dari ketertarikan seorang penguasa Abbasiyah al-Mahdi dibidang kesenian ini. Penguasa Abbasiyah, al-Mahdi sering mengundang dan melindungi Siyath dari Makkah, nyanyiannya lebih banyak memberikan nuansa kehangatan, muridnya Ibrahim al-Maushili menjadi pengusung kedua musik klasik setelah gurunya. Ibrahim mempunyai pesaing yang lebih muda yaitu ibn Jami’, seorang keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath.Ketika seorang menteri istana dimintai pendapat oleh al-Rasyid tentang Ibn Jami’ seorang keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath.Istana al-Rasyid yang telah diperbaiki dengan semarak sangat menyokong dan melindungi perkembangan musik dan nyanyian (sebagaimana yang mereka lakukan pada ilmu pengetahuan dan kesenian lainnya) sehingga istana menjadi pusat perkembangan dan perkumpulan para bintang musik.Fenomena para musisi yang mendapatkan gaji rutin dan selalu ditemani oleh para budak biduan, baik laki-laki dan perempuan.Al-Ma’mun dan al-Mutawakkil mempunyai seorang teman minum, yaitu Ishaq ibn Ibrahim al-Maushili, guru para musisi yang seusia dengannya.Setelah ayahnya, Ishaq merupakan ahli musik Arab klasik yang mumpuni. Sebagai seorang musisi kondang, ia adalah musisi terbesar yang pernah dilahirkan Islam. Para penyanyi, komposer, penyair dan para sarjana yang mendapatkan pendidikan yang baik pada masanya.Di bawah mereka, berderet para instrumentalis (dharib), dengan lute sebagai instrumen yang paling diminati, biola (rabab) banyak dimainkan oleh para pemusik yang lebih rendah tingkatannya.Tingkatan berikutnya ditempati oleh para biduan (qa’inah), yang bernyanyi dibalik tirai mengikuti aturan dan alunan nada tertentu.[11]


DAFTAR PUSTAKA

C.Israr, Sejarah Kesenin Islam 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam Bandung: Rosdakarya, 2000
Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, Bandung: Angkasa, 1993
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013





[1] C.Israr, Sejarah Kesenin Islam 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal 10-12
[2] Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm 3
[3] Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal 64
[4] Drs. D. Sirijuddin AR. Seni Kaligrafi Islam (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm 85-86
[5] Drs. Oloan Situmorang,Seni Rupa Islam pertumbuhan dan perkembangan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal 104-110
[6]Ibid, hal 135-136
[7]Ibid, hal 15
[8]Ibid, hal 16
[9]Philip K Hitty, History Of Arab, ( Jakarta: Serambi2002), hlm 503
[10] Philip K Hitty, History Of Arab, ( Jakarta: Serambi2002), hlm 504-505
[11]Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm 87

PAN ISLAMISME

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah

Pada abad 18-19, Islam mulai mengalami kemundurna dengan bukti banyaknya negara Islam yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat. Ini juga diperbesar degan kekalahan kehalifahan Turki Utsmani dengan Eropa. Banyak diantanya wilayah-wilayah yand dimiliki oleh kekhalifahan Turki Utsmani di caplok oleh bangsa Barat. Hal ini terjad karena terjadinya stagnais ilmu pengetahuna yang akhirya Islam jauh tertinggal dari ilmu pengetahuan barat.
Ini diperburuk dengan perpecahan umat Islam dimana-mana, karena adu domba dan monopoli yang dilakukaan Barat, yang semakin menyengsarakan umat Islam dalam kemundurannya. Pada saat itulah muncul tokoh-tokoh pemikir pembaharuan yang mempunyai gagasan tentang sebab kemunduran umatn Islam dan apa yang langkah-langkah yang harus dilakukan umat Islam agar mampu kembali kepada masa kejayaannya sepeti pada masa Khulafurrsiddin.
Diantara pemikir itu pembaharian itu adalah Sayid Jamaluddin al-Afghani, yang memikirkan tentang gagasan bahwa umat Islam yang terpecah belah harus bersatu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pan Islamisme.

B.       Rumusan Masalah
1.      Siapa penggas petama Pan Islamisme?
2.      Siapa kah Jamaluddin al-Afgani?
3.      Bagimana Isi dari Pan Islamisme?
4.      Bgaimana Pemikiran dati Jmaluddn al-Afghani?
5.      Apa pengruh Pan Islamisme bagi kesadaran Nasional?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Gerakan Pan Islam
Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang di kepalai seorang kholifah. Secara modern dapat diartikan bahwa kepemipinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa Usmani muda, Turki berusaha menggunakan Pan-Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah kesultanan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir seluruhnya sedang di jajah oleh Barat. Ide Pan Islam ini akan memanfaatkan kemajuan Barat dan meyesuaikanya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa ukhuwah islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan Islam dalam pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya.[1]
Berkembangnya Pan Islamisme pada awalnya berasal dari gagasan Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam yang lain. Pengaruh terbesar ditinggalkannya di Mesir.[2] Jamluddin al-Afgahni lahir di Afganistan pada tahun 1839 M. dan meninggal dunia pada tahun 1987 M. dalam sisilah keturunannya al-Afgani adalah keturunan nabi dari Sayyidina Ali ra.
Pendidikannya sejak kecil sudah diajarkan mengkaji al-Qur’an dari ayahnya sendiri, setelah itu belajar bahasa Arab dan Sejarah. Ayahnya mendatangkan guru ilmu Tafsir, ilmu Hadist dan Ilmu Fiqih yang dilengkapi juga tentang Ilmu Ketuhanan dan ilmu Tassawuf, kemudian dikirim ke india untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern ( Eropa).
Pengabdiannya pertama di Afganistan ketiak ia berusia dua pulih dua tahun ia telah menjadi pembantu pengeran Dost Muhammad Khan di Afganistan. Di tahun 1864 M. ia menjadi penasihat Seher Ali Khan, beberapa tahun kemudian ia di angkat menjadi Perdana Mentri oleh Muhammad A’zam Khan.[3] Karena kesuliatn-kesuliatn yang dialaminya sejak invasi Inggris dai Afganistan tahun 1869 ia memulai pengembaraannya ke luar negri. India merupakan tujuan pertamanya.
Tidak beberapa lama, lagi-lagi kerna masuknya tentara Inggris di India, ie malnjutakan perjalanannya ke Mesir tahun 1971. Selama di Kiro, Mesir Ia memusatkan perhatiannya kepada kajian-kajian ilmiah, dengan meberikan kuliah umum, ceramah dan diskusi. Murid-muridnya kebayakan dari kalangan mahasiswa, dosen, pejabat hukumdan pejabat pemerintahan. Diantara murid-muridnya yang muncul dan menjadi tokoh pembaharuan Islam antara lain Muhammad Abduh an Sa’ad Zaghul. Di mesir inilah Jamaluddin al-Afgani merumuskan pemikiran tentang teori-teoari pembaharuan yang kemudain di kenal sebagai Pan Islamisme.
Gagasan pemikirannya secara cepat tersiar ke seluruh pelosok Mesir. Pengebaraannya kemesir berhasil menghimpun kekuatan politik dengan pendirikan Partai Nasional Mesir (Al-Hizb Al-Wathani), yang salah satu usahanya adalah menggulingkan Khedewi Isma’il dan digantikan Khedewi Taufiq.[4] Khedewi Taufiq berusaha untuk menggulingakn Raja mesir dengan bantuan al-Afghani yang berjanji akan mengadakan pembaharuan yang di tuntut Al-Hizib Al-Wathani. Tetap etelah menjadi Kedewii Taufiq, atas tekanan Inggris mengusir al-Afghani keluar dari Mesir di tahun 1879.[5] Kemudian ia terbuang ke Paris bersama muridnya. Disana ia menghimpun kekuatan umat Islam dari berbagai negara Arab dan Eropa untuk mendirikan al-Urwah al-Wutsqa, suatu perkumpulan yang menerbitkan majalah yang di isi dengan pemikiran al-Aghani. Karena dianggap membahayakan kepentingan Barat di Afrika dan Asia, akhirnya penerbitan majalah itu dilarang oleh Inggris.
Tahun 1892 ai di undang oleh Sultan Abdul Hamid di Istambul Turki untuk ikut urun rembuk dalam menghadapi kekuatan barat yang semakin merajalela. Perbedaan pendapat ketika al-Afghani yang dikenal sebagai tokoh democrat, menganjurkan sistem syura dalam pemerintahan, sementara Sultan Abdul Hamid sejak dulu adalah pemimpin yang diktator yang lebih mementingkan kelenggan kekuasaan. Perselisihan ini membuat al-Afghani dibatasi pengaruhnya, tidak boleh meninggalkan Turki, hingga ia meninggal tahun 1897 di Istambul.[6]  
B.     Isi Pan Islamisme
Isi gerakan Pan Islamisme dapat dilihat dari teori pembaharuan yang dikemukakan oleh Sayid Jamaluddin Al-Afgani. Sayid Jamaluddin Al-Afgani mengungkapkan bahwa:
  1. Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa maupun zaman. Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi perubahan zaman, maka penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi dan pengertian baru tentang ajaran itu.
  2. Kemunduran yang dialami oleh umat Islam tak lain karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sesungguhnya.
  3. Pemahaman terhadap qadha dan qadar dirusak oleh sebagian ulama, menjadi fatalisme yang membawa umat Islam kepada keadaan statis.
  4. Pemahaman yang keliru terhadap hadits Nabi menyatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman membuat umat Islam tidak merubah nasibnya.
5.      Jalan keluarnya adalah melenyapkan pengertian yang salah itu dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (Sejarah dan Kebudayaan Indonesia Jilid III, 1982)
Beberapa sejarawan menyatakan tentang tujuan dari Jamaluddin al-Afghani. Diantaranya:
Lothhrop Stoddard menyatakan bahwa:” inti dari ajaran Jamluddin al-Afghani dapat disimoulkan bawa dunia Barat menindas dunia Timur, jiwa Perang Salib tetap membakar di dunia Barat. Kefanatiakan dunia Barat tetap menyala tersimpan di jiwa mereka. Mereka selalu berusaha dengan segala cara untuk menumpas setiap gerakan yang di usahakan Islam untuk memperbaiki diri dan membangkitakan umatnnya
Oleh karena itu marupakan kewajiban bagi dunia Islam supaya berastu menolak serangan Barat agar dapat mempertahankan identitasnya. Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali mencari sebab-sebab kenajuan Barat dan memegang teguh cara-cara yang menyebabkan orang barat itu maju dan kuat”
Goldziher berkata:” Sebenranya Jamaluddin sebagaimana dilihat oleh Brown adalah seorang ahli filsafat, penulis, orator dan wartawan. Lebih dari itu ia adalah politikus, orang-orang yang mencintai melihatnya sebagai nasionalis besar, musuh-musuhnya melihatnya sebagai pemberontak yang membahayakan. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap gerakan deokrasi yang timbul pada sepuluh tahun teakhir di pemerintahan-pemerintahan Islam. Ia berusaha membebaskan raja-raja Islam dari pengusaan Eropa dan menyelamatkan mereka dari monopoli asing, berusaha untuk meningkatakan masalah-masalah dalam negeri dunia Islam dengan administrasi pemerintahan yang bebas da teratur. Ia juga bermaksud untuk mendirikan Pan Islamisme yang diadalamnya terhimpun pemerintahan-pemerintahan Islam, diantaranya Iran yang Syiah, supaya dengan persatuan itu dapat mencegah infiltrasi bangsa Eroa pada masalah-masalah umat Islam”
Oleh karena itu dapat kita simpulkan menjadi dua tentang pemikiran pembaharuan Sayid Jamaluddin al-Afghani:
1.      Menyebarkan jiwa kebangkitan di dunia Timur hingga dapat membangkitkan mereka dalam kebudayaan, ilmu, pendidikan dan jernihnya agama dan bersihnya akidah mereka dan ahlak mereka seperti sekarang ini, dan mengembalikan kehormatan kemulian dan kehormatannya
2.      Melawan penduduk asing agar dunia timur kembali memperoleh kemerdekaan dan mengadakan hubungan satu sama lainnya, untuk dapat bersama-sama melindungi drir mereka dari bahaya yang mengancam mereka.[7]
Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerjaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan dalam kerja sama. Persatuan kerja sama  merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan umat Islam hanya dapat tercapai bila berada dalam kesatuan pandangan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Utuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut diantaranya:
1.    Rakyat Harus dibersihkan dari kepercayaan Takhayul
2.    Orang harus yakin bahwa bahwa ia dapat mencapai tingkatan/derjata budi luhur
3.    Rukun iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup dan kehidupan manusia bukan sekedar ikut ikutan belaka
4.    Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia yang bodoh dan juga memerangi hawa nafsu yang jahat dan juga menerapkan kedisiplinan.[8]

C.    Pengaruh Pan Islamisme
Pengaruh Pan Islamisme ini meluas ke seluruh negara Islam di dunia. Terbentuknya Liga Dunia Islam (Muslim Word League atau Rabitah al-Alam al-Islam) pada 1962 merupakan bentuk nyata dari gerakan Pan Islamisme. Liga Dunia Islam yang didukung oleh 43 negara kemudian menyelanggarakan konferensi Islam dan berbagai kegiatan lainnya. Raja Faisal dan Shah Iran pada 1965 menyerukan pentingnya menyelenggrakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam bagi para negara muslim di Makkah. Gagasan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan semangat Pan Islamisme.[9]
D.      Semangat Gerakan Pan Islam
Telah berabad-abad Islam mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak bukti sejaarah yang menjelaskn tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Di Jawa Timur, tepatnya di kecamatan Leran, Gresik terdapat makam Fatimah binti Maimun, yang meninggal pada 7 Rajab 475 H (1082 M). Di wilayah yang sama (Gresik) juga terdaat makam Maulana Malik Ibrahim, yang meninggal 12 Rabiulawal 822 H (1419). Selain itu, terdapat Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Jawa menjadi legenda yang bukti peninggalan fisiknya masih dapat di lihat hingga sekarang. Di Sumatera, bukti perkembangan agama Islam juga dapat ditelusuri hingga sekarang. H. M. Zinuddin dianggap sebagai orang Islam pertama yang datang di Aceh. Ia adalah komandan armada perang dari Persia yang saat itu membawa 33 buah kapal menuju Tiongkok. Kapal-kapal itu berlabuh di beberapa tempat seperti: Malaya, Kedah, Siam, Kamboja, Annam, Jawa, Brunai, Makassar, Kalimantan, Maluku, dan beberapa kapalnya juga singgah di pesisir Aceh (Andalas Utara) pada 82 H (717 M) dari proses inilah, Islam dapat dikatakan telah disebarkan di Aceh, yang akhirnya memberi pengaruh bagi perkembangan kerajaan Perlak.
Sampai pada abad ke-20, perkembangan Islam di Indonesia semakin tampak. Kuatnya arus perkembangan Islam ini adalah akibat dari proses menyebarnya gerakan Pan-Islamisme (kebangkitan Islam) yang datang dari Timur Tengah. Melalui gerakan inilah, semangat pembaruan Islam hadir dan mewarnai pemikiran orang Indonesia yang sebelunya telah memeluk agama Islam. Bangkiynta kekuatan Islam di Timur Tengah, memberikan sumbangsih cukup besar terbentuknya rasa kesatuan di kalangan bumiputera. Tidak terlepas dari dasar utama Turki yang Islam, sebuah kesadaran akan terbentuknya “Islam satu” menjadi bagian motivasi penting dalam membantu umat Islam di Indonesia. Pan-Islamisme yang dimotori Turki dan juga perkembangan afiliasi politik internasional antara Turki dan Jerman, memberikan perhatian terhadap umat Islam di Indonesia.
Semangat gerakan Pan-Islamisme yang ada di Timur Tengah, hadir ke Indonesia di bawah oleh para haji yang datang setelah menunaikan ibadah haji di Mekkah. Keterkaitan antara para haji sebagai penyebar warta Islam di Indonesia dengan perkembangan Pan-Islamisme di Timur Tengah bukanlah semata-mata sebuah kebetulan. Keterkaitanya diantara keduanya selain sebagai sebuah upaya para haji untuk mendapatkan ilmu agama Islam di Mekkah, juga terkait sebuah proses politik panjang yang dialami oleh para haji di Mekkah menjelang abad ke-20.[10]
Seiring dengan laju perkembangan Pan-Islamisme, Indonesia secara ketat telah dicengkeram oleh kolonialisme Belanda. Pemerintah Hindia Belanda sangat ketat dalam memberlakukan pencegahan terhadap laju perkembangan Islam itu. Dengan demikian, semangat kebangkitan Islam yang datang dari Mekkah, akhirnya menjadi media untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam di Indonesia. Pada prosesnya, wacana Pan-Islamisme semakin bersentuhan dalam ranah politik, sebagai uapaya untuk memperjuangkan rakyat bumiputera yang tertindas oleh bentuk kolonialisme Belanda. Pada tahap inilah, Pan-Islamisme telah melebur dalam semangat perjuangan pembebasan melalui berbagai bentuk seperti pemberontakan, pergerakan melalui organisasi modern, dan lain-lain.[11]
Islamisasi yang telah berjalan sangat lama di Indonesia melalui para agennya dan di masanya masing-masing, menjadikan Islam menyebar di Indonesia. Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi bumiputera. Islam telah mendarah daging di dalam sanubari bumiputera, dan haji menjadi penyambung warta yang sangat penting bagi tingkat keilmuan serta nilai-nilai mistik (sebagai bentuk sinkretisme budaya) lainya yang telah bercampur seiring menyebarnya Islam di Indonesia.
Bersamaan dengan kebangkitan agama di Indonesia, proses islamisasi internasional yang di dalamnya juga terkait sikap-sikap politik Islam internasional (pembentukan khilafah) akhirnya bertemu pada sebuah titik dengan kebangkitan agam Islam di Indonesia. Pesatnya arus Islamisasi internasional serta sikap-sikap politik negara Islam yang di wakili oleh Turki (saat itu berafiiasi dengan Jerman) sangat membantu bagi terhubungnya antara Timur Tengah dengan Indonesia.
Keterhubungan antara Timur Tengah dengan Indonesia juga tampak pada proses pembentukan organisasi Islam yaitu SI. Sejak pendirianya, para tokoh SI telah melakukan kontak dengan Turki. Turki sangat mendukung bagi kebesaran SI dalam memperjuangkan kepentingan Islam bumiputera untuk melawan kolonialisme Belanda. Pan-Islamisme tidak sekedar mengilhami terbentuknya persatuan bumiputera dan umat Islam di Indonesia, melainkan, menjadi penguat basis ideologis Islam dalam membentuk persatuan Islam internasional di Indonesia. Pada tahap inilah, semangat gerakan Pan-Islamisme semakin tampak dan cenderung menjadi bagian penting dalam proses perjuangan rakyat bumiputera (terutama SI) dalam melawan penjajahan Belanda yang kafir.[12]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pencetus pertama dari Pan Islamisme adalah Sayyid Jmaluddin al-Afghani, ia adalah salah satu pembaharu Islam yang melalang buana ke berbagai negara untuk menyebrakan pemikiranya, muai dari Afganistan, Mesir, Indi, Perancis dan Turki. Garis besar sari Pan Islamisme adalah bahwa Islam harus bersatu dalam pandangan dan bersatu dalam kerja sama. Pengaruh dari Pan Islamisme sendiri sangat berpengaruh bagi kesadaran nasional diantaranya adalh pemberintakan-pemberontakan yang dilakukan Umat Islam agar mampu terbebas dari Kolonilaisme.




DAFTAR PUSTAKA
Miftahul Jannah, Politik Hindia Belanda Terhadap Umat Islam Di Indonesia, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharaun dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1995
Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Abdul Jabbar Adlan, Teks Book Dirasat Islamiyah,  Surabaya: CV. Anika bahagia Offset, 1995
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Moderen di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995
Fendyi.blogspot.com/…/berkembangnya-pan-islamisme-sebagai-html. Dikutip pada tanggal 29 Oktober 2015, jam 20.30
Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012




[1] Miftahul Jannah, Politik Hindia Belanda Terhadap Umat Islam Di Indonesia, Skripsi (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hlm.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm 51
[3] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharaun dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hlm. 76-77
[4] Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Abdul Jabbar Adlan, Teks Book Dirasat Islamiyah, ( Surabaya: CV. Anika bahagia Offset, 1995) hlm. 135
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm 52
[6] Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Abdul Jabbar Adlan, Teks Book Dirasat Islamiyah, ( Surabaya: CV. Anika bahagia Offset, 1995) hlm. 136
[7] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Moderen di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm 314-315
[8] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharaun dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hlm. 77
[9] Fendyi.blogspot.com/…/berkembangnya-pan-islamisme-sebagai-html. Dikutip pada tanggal 29 Oktober 2015, jam 20.30
[10] Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.42-44
[11] Ibid, hlm.47
[12] Ibid, hlm.49-50