Ahmad Khoiron Minan
Abstrak
Makalah ini akan membahasa tentang metodologi memahami hadits. Metode
mehahami hadits penting dilakukan karena hadits sebagai sumber ajaran Islam
kedua juga sebagai penjelas tentang hal-hal yang masih umum yang ada dalam
Al-Qur’an. pembahasan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah mengenai
pemahaman hadits pada awal masa sahabat yang befokus pada pemahaman tekstual
dan kontekstual. Kemudian masuk pada perkembangan pemahaman hadits dengan
metode normatif-tekstual, historis kontekstul dan rejeksionis-liberal
dilanjutkan dengan prinsip yang harus dipegang dalam rangka untuk memahami
sebuah hadits agar terhindar dar kekeliruan.
Kata Kunci: Memahami, Metode, Prinsip
Pendahuluan
Hadits adalah salah satu sumber ajarana Islam, yang
menempati sumber ajaran kedua dalam Islam. Sebagai salah satu sumber hukum
Islam hadits memiliki karakteristik yang berbeda dengan Al-Qur’an yang merupakan
sumber pertama dalam Al-Qur’an. Perbedaan tersebut menimbulkan upaya untuk
untuk memahami hadits yang kemudian terdapat berbagai problem metodologi yang
harus diperhatikan dalam memahami hadits. Pertama, jika Al-Qur’an
keseluruhannya memiliki derajat yang mutawattir, berbeda halnya dengan hadits
yang mayoritas atau sebagian besar meiliki derajat ahad, hanya sebagian kecil
yang sampai pada derajat mutawattir. Ini artinya tidak semua hadist mampu
mencapai derajat kepastian (qat’i tsubut), melainkan hanya pada derajan
yang bersifat tentatig (dzanni tsubut). Kedua, hadits memiliki
hubungan hubungan dengan Al-Qur’an, yaitu merupakan pemberi penjelas terhadap
isi yang ada dalam Al-Qur’an, oleh sebab itu hadits tidak dapat dipisahkan
dengan Al-Qur’an karena hadits tidak mampu menetapkan hukum atau ajaran sendiri
melainkan hanya sebagai penjelas Al-Qur’an. Sehingga bisa dikatakan bahwa
hadits hanya bersifat komplementer terhadap Al-Qur’an dan bukan sumber utama. Ketiga,
hadits lahir atau diucapkan dalam kontes kedudukan dan fungsi Nabi Muhammad
sebagai utusan Allah yang menyapaikan wahyu atau risalah dari Allah, Nabi
sebagai manusia biasa, kepala rumah tangga, pemimpin negara dan masyarakat dan
lain sebagainya.[1]
Dari beberapa problem tersebut menimbulakan perlu adanya pemahaman dalam
memahami sebuah hadits.
Para ulama terdahulu telah memiliki metode dalam memahami
sebuah hadits terutama hadits yang dianggap saling bertentangan, yaitu dengan
metode tarjih (pengunggulan), nasikh mansukh (pembatalan),
al-jam’u (mengkompromikan), at-sawaquf ( mendiamkan) untuk tidak
mengamalkan hadits sampai ditemukan penjelasan atau keterangan hadits mana yang
akan diamalkan.[2]
Cara mendiamkan sebuah hadits dianggap bukan sebuah solusi untuk memahami
sebuah hadits, oleh sebab itu perlu adanya usaha untuk mencari solusi dalam
memahami sebuah hadits melalu berbagai metode yang akan penulis paparkan dalam
pejelasan selanjutnya.
Pembahasan
Pemahaman Hadits adalah salah satu bagian dari kritik
matan, sedangkan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadits. Kritik dalam
hadits terdiri dari kritik sanad (kritik eksteren) dan kritik matan (kritik
interen). Jika dibandingakan dengan kritik sanad kritik matan memiliki tingkat
kesulitan yang lebih besar. Menurut Syuhudi Isma’il setidaknya terdapat lima
faktor yang menyebabkan sulitnya penelitian matan hadits
1.
Adanya periwayatan secara makna
2.
Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak hanya satu
macam
3.
Latarbelakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu
mudah diketahui
4.
Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan hal hal
yang bersifat supra rasional
5.
Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus
penelitian hadits.[3]
Oleh sebab itu dalam penelitian matan hadits
harus memiliki keahlian dalam bidang hadits dan Ulumul Hadits serta memiliki
pengetahuan yang luas tentang ajaran Islam.
Kritik hadits pada dasarnya sudah ada pada
masa awal Islam atau pada masa Nabi Muhammad SAW. Kritik hadits sebagai salah
satu upaya untuk membedah informasi yang disampaikan Rasulullah, apakah
informasi tersebut benar atau tidak sebagai bentuk konfirmasi para sahabat
kepada Nabi atau kepada sahabat lainnya. Pada masa Nabi para sahabat belum
menemukan kendala yang berarti dalam memahami sebuah hadits, hal ini
dikarenakan semua kendala menyangkut kebenaran informasi atau kontroversi
pemahaman dapat langsung ditanyakan kepada Nabi. Setelah wafatnya nabi, secara
otomatis segala urusan dalam agama Islam harus ditangani secara mandiri oleh
para sahabat. Pada masa inilah metode untuk memamahmi hadits berkembang.[4]
Pemahaman terhadap sebuah hadits sangat
diperlukan, dikarenakan hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
Al-Qur’an, juga merupakan penjelas terhadap isi yang ada dalam Al-Qur’an yang
tidak disebutkan secara rinci dan tegas. Sehingga seseorang yang ingin
mengamalkan ajaran Islam secara baik perlu merujuk pada hadits. Sebab dalam Al-Qur’an
seorang akan mendapatkan rincian pejelasan dari hal-hal yang ada dalam
Al-Qur’an yang hanya disebutkan secara global.
Jika ditinjau secara teologis seperti yang ada
dalam Al-Qur’an, terdapat banyak firman yang memerintahkan untuk mengikuti
Rasulullah yang kemudian dimanifestasikan dalam konsep hadits. Sehingga dalam
hal ini hadits jika ditinjau dari struktural merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an
dan secara fungsional merupakan penjelas terhadap Al-Qur’an. Penjelas dalam hal
ini bukan hanya sebagai perinci hal-hal yang masih global dalam Al-Qur’an,
tetapi juga sebagai pembatasan hal-hal yang mutlak dan memberikan ketentuan
khusus (takhsis), terhadap ayat-ayat yang masih umum.[5]
Metodologi Pemahaman Hadits
Pada awal perkembangannya terdapat setidaknya
dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam memahami sebuah hadits,
yakni
1.
Kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyahnya teks
hadits disebut dengan dengan Ahl al Hadits (Tekstual).[6]
Kelompok ini lebih mempercayai hadits sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an
tanpa mempedulikan proses sejarah dan proses pembentukan ortodoksi.[7]
2.
Kelompok yang mengembangkan penalaran faktor-faktor yang
berada dibelakang teks Ahl al Ra’yi (Kontekstual).[8]
Kelompok ini mempercayai Al-Hadist sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an,
tetapi juga melakukan kiritik historis dan mempertimbangkan asal usul hadits
tersebut.[9]
Dari pemapara diatas dapat disimpulkan bahawa
pemahaman tekstual adalah mencoba memahami makna dan pesan yang terkadung dalam
sebuah hadits tanpa memperhatikan konteks yang melingkupinya, sedangkan
kontekstual lebih menekankan pada kontes yang melingkupi hadits dalam memahami
makna hadits.
Pandangan tentang tekstual dan kotekstual
dalam memamai sebuah hadits dapat dibuktikan dengan apa yang dilakukan sebagian
sahabat yang memahami perintah Nabi “ Janganlah kamu shalat ashar, kecuali
di perkampungan bani Quraydhah”. Para sahabat yang memamahi perintah
tersebut secara kontekstual dan memahami maksud dan tujuan yang ingin
disampaikan Nabi, tetap melakukan shalat ashar pada waktunya selama di
perjalanan. Sedangkan para sahabat yang memahami hadits tersebut secara
tekstual, melaksanakan shalat ashar setelah sampai di perkampungan bani Quraydah,
meskipun waktu shalat ashar telah habis. Kemudian hal ini disampaikan kepada
Nabi, dan Nabi tidak menyalahkan salah satu dari kedua pandangan tesebut. Ini
membuktikan pada awal masa sahabat dalam memahami sebuah hadits sudah terdapat
perbedaan pandangan dalam memahmi suatu hadits.[10]
Pada perkembangan selanjutnya, setidaknya
terdapat tiga tipologi dalam memahami sebuah hadits
Normatif Tekstual
Normatif berasal dari bahasa inggris yaitu norm,
yang memiliki makna norma, acuan ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk,
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dalam hubungannya kata
norma erat kaitannya dengan akhlak sedangkan akhlak adalah inti dari agama dan
agama berasa dari Tuhan yang pasti benar adanya, maka sebuah norma tersebut
diyakini benar adanya, dan wajib dilaksanakan.[11]
Dari penjelasan diatas pendekatan normatif, melihat sebuah teks agama sebagai
kebenaran mutlak dari Tuhan yang belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Jika ditinjau dengan ilmu Hadits, maka metode pemahaman
normatif-tekstual beranggapan bahwa makna atau pesan yang terkandung dalam
sebuah hadits sudah dijelakan secara zhahir oleh teks yang ada, sehingga segala
upaya untuk memahami sebuah hadits diluar dari teks dianggap tidak tepat.
Mereka beranggapan bahwa teks yang terdapat dalam sebuah hadits adalah mutlak
seperti apa yang tertulis, situasi dan kondisi yang harus mengikuti bunyi teks
hadits. Pemahaman norematif tekstual cederung menolak majas dan anti
heremeneutika (takwil), sehingga teks tersebut harus dipahami sesuai dengan
bunyi teks yang ada.
Sebagai contoh pemahaman terhadap hadits Nabi mengeni
panjang tangan dikalangan istri Nabi sebagai berikut:
“Dari Aisyar Ummul Mukminin, Rasulullah SAW. Bersabda:
yang paling cepat menyusulku diantara kalian, sepeninggalku adalah yang paling
panjang tangnnya.”
Melihat hadits tersebut, para istri Rasulullah mengira
bahwa panjang yang dimaksud adalah panjang secara fisik. Ini terlihat dari
kelanjutan hadits bahwa mereka kemudian saling mengkur siapa diantara mereka
yang paling panjang tangannya yaitu Saudah. Akan tetapi yang dimaksud Nabi
“dengan tangan yang paling panjang” adalah mereka yang balik banyak bersedekah
dan kedermawanannya yaitu Zainab Binti Jahsy.
Demikian juga tejadi oleh para sahabat ketika Nabi
berjalan dalam sebuah lorong yang terdapat sebuah ranting, sehingga Nabi
membungkukkan badannya karena sedikit agak tergangnggu. Karena keinginan yang
amat kuat untuk mengikuti apa yang telah dilakukan Nabi, maka para sahabat pun
ikut membungkuk walaupun setiap melewati lorong tersebut, walupun ranting
tersebut telah di potong.[12]
Para ulama hadits kontemporer berpendapat bahwa terdapat
beberapa tema atau penjelasan sebuah hadits yang hanya mampu atau harus
dipahami secara tekstual tanpa melihat kontek yang ada pada hadits tersebut.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ali Mustafa Ya’qub yang berpadangan bahwa
terdapat dua tema yang harus dipahami secara tekstual yaitu perkara ghaib dan
ibadah murni (mahdhah)
1. Perkara Ghaib
Dalam padangan Yusuf Al-Qardhawi menegasakan
bahwa semua hadits sahih berkaitan dengan alam ghaib, maka harus diyaikini
kebenarannya dan harus dipahami secara tekstual dan tidak diperbolehkan untuk
ditolak meskipun mustahil bagi akal dan bertentangan dengan kebiasaan. Lebih
lanjut Yusuf Al-Quardahwi menegaskan bahwa setidaknya terdapat tiga fenomena
Gaib yang harus dipahami secara tekstual
a.
Kehidupan alam barza, pertanyaan kubur, nikmat dan
azabnya.
b.
Kehidupan akhirat seperti kebangkitan, makhsayr, hari
kiamat, timbangan, surga dan neraka dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
kehidupan akhirat
c.
Hakikat Allah, Malaikat dan Jin
Sedangkan Ali Mustofa Ya’qub mencoba untuk
mengaktegorikan ghoib, yaitu ghoib nisbi (relatif), seperti ketidak tauhuan sesorang mengunjungi tempat tempat yang
belum pernah dikunjungi dan ghaib haqiqi (mutlak), seperti hari akhir,
bentuk malaikat, jin, surga, neraka dan lain-lain tidak layak untuk ditafsirkan
secara kontekstual. Dalam masalah-masalah yang telah disebutkan cukup mengikuti
Al-Qur’an dan Hadits dalam memahami hal tersebut, karena akal dan fikiran
manusia tidak akan mampu untuk menjangkau hal-hal yang ghaib tersebut.[13]
2.
Ibadah Murni (mahdah)
Ibadah mahdah adalah ibadah yang berkaitan
dengan hubungan personil antara Khaliq dan makluknya, yang sudah di naskan
dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti perintah shalat, puasa, haji harus difahami
secara tekstual tanpa harus adaanya penafsiran secara kontekstual. Karena
mekontektualisasikan ibadah murni akan mengakibatkan terjadinya praktik-praktik
ibad’ah yang menyesatkan dan menjadikan subtansi teks tersebut kehilangan
universalitasnya.[14]
Kelemahan dalam memahami sebuat hadits secara
normatif tekstual adalah ketika menghadapi sebuah hadits yang mengandung makna
majaz, dengan pendekatan normatif tekstul yang memang hanya berpedoman pada
teks yang ada tidak akan mampu memahami hadits yang mendung majaz karena tidak
masuk akal dan diluar pemahaman mereka.
Historis-Kontekstual
Historis atau sejarah adalah pemahaman yang
mucul sebagai kritik tehadap pemahaman normatif. Kata historis sendiri
merupakan serapan dari kara history dalam bahasa inggris, yang berasal
dari istilah Yunani yaitu istoria, yakni gejala-gejala alam yang
bersifat keronologis terutama yang berkaitan dengan manusia.[15]
Dengan menggunakan sejarah seorang ahli hadits mampu melihat mata rantai antara
satu kejadian dengan kejadian yang lain sehingga tidak terjadi distorsi
pemahaman dalam memaknai sebuah hadits.
Sedangkan kontekstual berasal dari bahas
inggros contex yang berarti menguntungkan, dalam KKBI “ suatu uraian
atau kalimat yang mendukung atau menjelaskan makna, atau situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian dengan satu kajian atau lingkungan kejadian”.
sehingga dapat ditari kesimpulan bahwa memamahi hadits secara kontekstual
adalah mencoba memahami hadits dengan memperhatikan kondisi dan situasi yang
melingkupi turunnya hadits tersebut. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan
tekstual yang berpandangan bahwa teks merupakan sesuatu yang berdiri sendiri
tanpa mempedulikan kondisi dan situasi yang ada.[16]
Memahami hadits secara historis kontekstual
dilakuakn karena kondisi dan situasi turunnya sebuah hadits berbeda dengan
kondisi dan situsi di daerah lain, sehingga perlu adanya pemahaman secara
kontekstual. Selain itu tidak semua hadits memiliki asbabul wurud yang menjelaskan apakah status hadits tersebut
bersifat umum atau khusus, sehaingga perlu adanya pemahaman hadits secara
kontekstual bukan hanya tekstual. Dari pandagan diatas setidaknya terdapat
berberapa sebab yang melatarbelakangi perlunya pendekatan kontekstual terhadap
hadits Nabi, diataranya:
1.
Jumlah kaum muslimin yang semakin banyak dengan bebagai
kultur, wilayah geografis dan kondisi sosial yang berbeda.
2.
Islam yang tidak lagi menjadi satu sebagai sebuah negara,
sehingga mereka harus mengikuti aturan negara yang berbeda-beda.
3.
Adanya contoh dari Nabi bahwa perubahan hukum dapat
berubah dengan disebabkan kondisi dan situasi yang berbeda.
4.
Adanya contoh dari para sahabat, yang mencontohkan
pemahaman hadits secara kontekstual.
5.
Implementasi pemahama tekstual kadang tidak sejalan
dengan kemaslahatan
6.
Islam sebagai agama rahmatalil alamin.[17]
Latarabelakang diatas meyebabkan pemahaman
historis kontekstual, sebagai pemahaman hadits yang paling moderat, dikarenakan
mereka tidak terburu-buru dalam menolak sebuah hadits sebelum melakukan kajian
secara seksama. Sebab apa yang disampaikan oleh Nabi itu bersifat metaforis
sehingga harus dipahami secara simbolik. Selain itu dalam bahasa Arab juga
terdapat kata-kata yang bersifat majaz.[18]
Akan tetapi dalam pemahaman historis
kontekstual harus memiliki batasan-batasan tema hadits yang dalam pembahasannya
dianggap perlu untuk ditampilkan pemahaman kontekstual. Diatara tema-tema yang
perlu untuk di pahami secara kontekstual adalah sebagai berikut:
1.
Menyangkut sarana dan prasarasan yang tertuang secara
tekstual, seperti cara berpakaian dan bahasa yang digunakan.
2.
Menyangkut aturan manusia sebagai individu dan biologis,
seperti makannya Nabi dengan tiga jari yang konteksnya adalah makanan yang
dimakan adalah kurma dan roti.
3.
Menyangkut aturan manusia sebagai makluk sosial.
4.
Menyangkut sistem
bermasyarakat dan bernegara.[19]
Dalam memahami hadits secara historis kontekstual
setidaknya terdapat beberapalangkah atau tahapan yang harus ditempuh antara
lain pertama, dengan menggunakan pendekatan
kebahasaan, yang meliputi struktur
bahasa, kata-kata yang digunakan oleh bangsa Arab, Matan yang menggambarkan
bahasa kenabian. Kedua, melalui kandungan teks. Ketiga, melalui
keterkaitan hadits dengan hadits lain yang satu tema. Keempat, melalui
penelusuran sejarah yaitu dengan menelusuri latarbelakang hadits dan menelisik
aspek sanad dan matannya. Kelima, Asbabul Wurud.[20]
Dan yang terakhir yaitu dengan dengan melakukan kajian hermeneutis dengan
mencoba untuk mengintekoneksikan dengan disiplin ilmu lain, termasuk duina
medis-kedokteran, untuk mencari penjelasan dan penguat dalam redaksi-redaksi
hadits yang berkaitan dengan ilmu-imu medis.[21]
Rejeksionis-Liberal
Metode yang digunakan dalam memamahi hadits
adalah dengan hanya menerima hadits-hadits yang sesuai dengan dengan akal dan
menolak hadits-hadits yang dianggap tidak masuk akal terutama masalah medis.
Salah satu contoh dalam pemahaman ini adalah hadits tetang lalat. Salah satu
tokoh yang menolak hadits tentang lalat adalah Mahmud Abu Rayya, yang secara
jelas menolak adanya hadits tersebut dan menganggapnya tidak bisa dipercaya. Ia
mengkritik tajam Abu Hurairah sebagai berawi hadits dan menganggap beliau
sebagai orang yang hafalnya tidak dapat dipercaya. Pendapat yang sama pun dikemukakan
oleh Muhammad Taufiq. Hadits tersebut dinilai kontadiktif dengan akal dan teori
medis. Karena pandangan mereka bahwa lalat merupakan serangga yang berbahaya
dan dapat menyebakan banyak penyakit. Lalu apakah mungkin Nabi menyuruh
menenggelamkan lalat yang sudah dianggap berbahaya kedalam minuman, seperti
itulah pendapat Muhammad Taufiq dalam menanggapi kebenaran hadits tersebut:
“Khalid ibn Makhlad bercerita kepada kami,
Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata Uthbah bin Muslim telah
bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu
Hurairah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: apabila ada lalat yang jatuh dalam
minuman salah seorang kalian, makan kendaklah ia membenamkan sekalian, lalu
buang lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayap terdapat penyakit,
sedangkan sayap yang lain terdapat penawar (obat). (HR. al-Bukhari)
Selintas hadits tersebut memang kontradiktif
dan tidak masuk akal dengan teori kesehatan. Akan tetapi setelah itu hadits ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti Mesir dan
Arab Saudi, mereka membuat beberapa percobaan dengan menyiapkan beberapa bejana
yang berisi air, jus dan madu yang dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat,
setelah itu beberapa bejana dimasuki lalat, maka sebagian bejana yang
dihinggapi lalat, lalat tersebut dibenamkan dan yang sebagian lainnya tidak.
Setelah melakukan pengamatan dengan mikroskop, membuktikan bahwa minuman yang
lalat tersebut tidak dibenamkan, memiliki kandungan mikroba dan kuman yang jauh
lebih banyak dibandingkan dengan minuman yang lalat tersebut dibenamkan.[22] Selain
contoh diatas adalah adanya hadits yang memerintahkan untuk meminum kencing
unta, maka dalam pandangan ini hadits tersebut ditolak karena ketidak sesuaikan
dengan masuk akal.
Prinsip Metodologi Memahai Hadits
Para ulama memeberikan beberapa prinsip umum
agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami hadits Nabi.
1.
Jangan terburu-buru dalam menolak sebuah hadits hanya
karena tidak sesuai akal, sebelum melakukan penelitian dan pemahaman lebih
lanjut.
2.
Memahami hadits secara tematik.
3.
Bertumpu pada analisa kebahasaan, dengan memperhatikan konteks
dan teks.
4.
Membedakan ketentuan hadits yang mempunyai sifat legal
formal dan ideal moral.
5.
Membedakan hadits yang bersifat lokal-kutural, temporal
dan universal.
6.
Mempertimbangkan kedudukan Nabi.
7.
Meneliti dengan saksama tentang kesahihan hadits, baik sanad
maupun matan
8.
Memastikan bahwa teks hadits tersebut tidak bertetangan
dengan nash yang lebih kuat.
9.
Menginterkoneksikan dengan ilmu-ilmu sains moderen untuk
menemukan kejelasan sautu makna.
Kesimpulan
Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
memilik karakteristik yang berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat mutlak
kebenarannya, sedangkan disisi lain fungsi Hadits sebagai suber ajaran kedua
setelah Al-Qur’an salah satunya adalah untuk memberikan penjelas terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Oleh sebab itu perlu adanya
metodologi yang digunaka untuk memahami
sebuah hadits. terdapat tiga tipologi yang digunakan untuk memahami isi
kandungan yang ada dalam hadits, yaitu normatif-tekstual yang lebih
mengedepankan pemahaman hadits melalu teks yang ada tanpa mempedulikan konteks
yang ada, historis-kontektual meruapakan metode pemahaman hadits yang lebih
menitiberatkan pada konteks sejarah dan kondisi yang melingkupi sebuah hadits
dan yang terkahir yaitu rejeksionis-liberal yaitu pemahaman hadits sesua dengan
akal dan menolak segala hadits yang bertentangan dengan pemahaman akal.
Daftar Pustaka
Abdurrahman,
Dudung. 2005. Metodologi Penelitian Agama: pendekatan Multidispliner. Jakarta:Bina
Ilmu.
Asros,
Miftahul, dan Musbikin, Imam. 2015. Membedah Hadits Nabi SAW. Madiun:
Jaya Star Nine.
AW. Channa,
Liliek. Memahami Makna Hadits secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal
Studi Keislaman Ulumuna. Vol. 17, No. 2. Desember 2011.
Isma’il,
Syuhuddin, M. 1992. Metodologi Penelitian Hadits. Jakarta: Bulan
Bintang.
Mustaqim, Abdul. 2016. Ilmu Ma’anil Hadits paradigma
Interkoneksi. Yogyakarta: idea Press.
Natta, Abuddin. 2001. Peta Keraguan Pemikiran Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Suryadi. 2008. Metode
Kontemporer dalam Memahami Hadits Nabi.
Yogyakarta: Teras.
Suryadilaga,
Alfatih. 2012. Metodologi Syarah Hadits Era Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta:
SUKA Press.
Tasrif, Muh.
2007. Kajian Hadits di Indonesia Sejarah dan Pemikiran. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.
[1] Muh. Tasrif, Kajian Hadits di Indonesia Sejarah dan Pemikiran, (
Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), 78-79.
[2] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadits Era Klasik hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: SUKA Press, 2012), 64.
[6] Suryadi, Metode Kontemporer....., 73.
[10] Liliek Channa AW, Memahami Makna Hadits secara Tekstual dan Kontekstual,
Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Vol. 17, No. 2, Desember 2011, 397.
[11] Abuddin Natta, Peta Keraguan Pemikiran Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), 18.
[15] Dunung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Agama: pendekatan
Multidispliner, (Jakarta:Bina Ilmu, 2005), 42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar