Kamis, 12 September 2019

METODOLOGI MEMAHAMI HADITS NABI


Ahmad Khoiron Minan

Abstrak
Makalah ini akan membahasa tentang metodologi memahami hadits. Metode mehahami hadits penting dilakukan karena hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua juga sebagai penjelas tentang hal-hal yang masih umum yang ada dalam Al-Qur’an. pembahasan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah mengenai pemahaman hadits pada awal masa sahabat yang befokus pada pemahaman tekstual dan kontekstual. Kemudian masuk pada perkembangan pemahaman hadits dengan metode normatif-tekstual, historis kontekstul dan rejeksionis-liberal dilanjutkan dengan prinsip yang harus dipegang dalam rangka untuk memahami sebuah hadits agar terhindar dar kekeliruan.

Kata Kunci: Memahami, Metode, Prinsip

Pendahuluan
Hadits adalah salah satu sumber ajarana Islam, yang menempati sumber ajaran kedua dalam Islam. Sebagai salah satu sumber hukum Islam hadits memiliki karakteristik yang berbeda dengan Al-Qur’an yang merupakan sumber pertama dalam Al-Qur’an. Perbedaan tersebut menimbulkan upaya untuk untuk memahami hadits yang kemudian terdapat berbagai problem metodologi yang harus diperhatikan dalam memahami hadits. Pertama, jika Al-Qur’an keseluruhannya memiliki derajat yang mutawattir, berbeda halnya dengan hadits yang mayoritas atau sebagian besar meiliki derajat ahad, hanya sebagian kecil yang sampai pada derajat mutawattir. Ini artinya tidak semua hadist mampu mencapai derajat kepastian (qat’i tsubut), melainkan hanya pada derajan yang bersifat tentatig (dzanni tsubut). Kedua, hadits memiliki hubungan hubungan dengan Al-Qur’an, yaitu merupakan pemberi penjelas terhadap isi yang ada dalam Al-Qur’an, oleh sebab itu hadits tidak dapat dipisahkan dengan Al-Qur’an karena hadits tidak mampu menetapkan hukum atau ajaran sendiri melainkan hanya sebagai penjelas Al-Qur’an. Sehingga bisa dikatakan bahwa hadits hanya bersifat komplementer terhadap Al-Qur’an dan bukan sumber utama. Ketiga, hadits lahir atau diucapkan dalam kontes kedudukan dan fungsi Nabi Muhammad sebagai utusan Allah yang menyapaikan wahyu atau risalah dari Allah, Nabi sebagai manusia biasa, kepala rumah tangga, pemimpin negara dan masyarakat dan lain sebagainya.[1] Dari beberapa problem tersebut menimbulakan perlu adanya pemahaman dalam memahami sebuah hadits.
Para ulama terdahulu telah memiliki metode dalam memahami sebuah hadits terutama hadits yang dianggap saling bertentangan, yaitu dengan metode tarjih (pengunggulan), nasikh mansukh (pembatalan), al-jam’u (mengkompromikan), at-sawaquf ( mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadits sampai ditemukan penjelasan atau keterangan hadits mana yang akan diamalkan.[2] Cara mendiamkan sebuah hadits dianggap bukan sebuah solusi untuk memahami sebuah hadits, oleh sebab itu perlu adanya usaha untuk mencari solusi dalam memahami sebuah hadits melalu berbagai metode yang akan penulis paparkan dalam pejelasan selanjutnya.  

Pembahasan
Pemahaman Hadits adalah salah satu bagian dari kritik matan, sedangkan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadits. Kritik dalam hadits terdiri dari kritik sanad (kritik eksteren) dan kritik matan (kritik interen). Jika dibandingakan dengan kritik sanad kritik matan memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar. Menurut Syuhudi Isma’il setidaknya terdapat lima faktor yang menyebabkan sulitnya penelitian matan hadits
1.      Adanya periwayatan secara makna
2.      Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak hanya satu macam
3.      Latarbelakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah diketahui
4.      Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan hal hal yang bersifat supra rasional
5.      Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian hadits.[3]
Oleh sebab itu dalam penelitian matan hadits harus memiliki keahlian dalam bidang hadits dan Ulumul Hadits serta memiliki pengetahuan yang luas tentang ajaran Islam.
Kritik hadits pada dasarnya sudah ada pada masa awal Islam atau pada masa Nabi Muhammad SAW. Kritik hadits sebagai salah satu upaya untuk membedah informasi yang disampaikan Rasulullah, apakah informasi tersebut benar atau tidak sebagai bentuk konfirmasi para sahabat kepada Nabi atau kepada sahabat lainnya. Pada masa Nabi para sahabat belum menemukan kendala yang berarti dalam memahami sebuah hadits, hal ini dikarenakan semua kendala menyangkut kebenaran informasi atau kontroversi pemahaman dapat langsung ditanyakan kepada Nabi. Setelah wafatnya nabi, secara otomatis segala urusan dalam agama Islam harus ditangani secara mandiri oleh para sahabat. Pada masa inilah metode untuk memamahmi hadits berkembang.[4]
Pemahaman terhadap sebuah hadits sangat diperlukan, dikarenakan hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, juga merupakan penjelas terhadap isi yang ada dalam Al-Qur’an yang tidak disebutkan secara rinci dan tegas. Sehingga seseorang yang ingin mengamalkan ajaran Islam secara baik perlu merujuk pada hadits. Sebab dalam Al-Qur’an seorang akan mendapatkan rincian pejelasan dari hal-hal yang ada dalam Al-Qur’an yang hanya disebutkan secara global.
Jika ditinjau secara teologis seperti yang ada dalam Al-Qur’an, terdapat banyak firman yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah yang kemudian dimanifestasikan dalam konsep hadits. Sehingga dalam hal ini hadits jika ditinjau dari struktural merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an dan secara fungsional merupakan penjelas terhadap Al-Qur’an. Penjelas dalam hal ini bukan hanya sebagai perinci hal-hal yang masih global dalam Al-Qur’an, tetapi juga sebagai pembatasan hal-hal yang mutlak dan memberikan ketentuan khusus (takhsis), terhadap ayat-ayat yang masih umum.[5]

Metodologi Pemahaman Hadits
Pada awal perkembangannya terdapat setidaknya dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam memahami sebuah hadits, yakni
1.      Kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyahnya teks hadits disebut dengan dengan Ahl al Hadits (Tekstual).[6] Kelompok ini lebih mempercayai hadits sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an tanpa mempedulikan proses sejarah dan proses pembentukan ortodoksi.[7]
2.      Kelompok yang mengembangkan penalaran faktor-faktor yang berada dibelakang teks Ahl al Ra’yi (Kontekstual).[8] Kelompok ini mempercayai Al-Hadist sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, tetapi juga melakukan kiritik historis dan mempertimbangkan asal usul hadits tersebut.[9]
Dari pemapara diatas dapat disimpulkan bahawa pemahaman tekstual adalah mencoba memahami makna dan pesan yang terkadung dalam sebuah hadits tanpa memperhatikan konteks yang melingkupinya, sedangkan kontekstual lebih menekankan pada kontes yang melingkupi hadits dalam memahami makna hadits.
Pandangan tentang tekstual dan kotekstual dalam memamai sebuah hadits dapat dibuktikan dengan apa yang dilakukan sebagian sahabat yang memahami perintah Nabi “ Janganlah kamu shalat ashar, kecuali di perkampungan bani Quraydhah”. Para sahabat yang memamahi perintah tersebut secara kontekstual dan memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan Nabi, tetap melakukan shalat ashar pada waktunya selama di perjalanan. Sedangkan para sahabat yang memahami hadits tersebut secara tekstual, melaksanakan shalat ashar setelah sampai di perkampungan bani Quraydah, meskipun waktu shalat ashar telah habis. Kemudian hal ini disampaikan kepada Nabi, dan Nabi tidak menyalahkan salah satu dari kedua pandangan tesebut. Ini membuktikan pada awal masa sahabat dalam memahami sebuah hadits sudah terdapat perbedaan pandangan dalam memahmi suatu hadits.[10]
Pada perkembangan selanjutnya, setidaknya terdapat tiga tipologi dalam memahami sebuah hadits
Normatif Tekstual
 Normatif berasal dari bahasa inggris yaitu norm, yang memiliki makna norma, acuan ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dalam hubungannya kata norma erat kaitannya dengan akhlak sedangkan akhlak adalah inti dari agama dan agama berasa dari Tuhan yang pasti benar adanya, maka sebuah norma tersebut diyakini benar adanya, dan wajib dilaksanakan.[11] Dari penjelasan diatas pendekatan normatif, melihat sebuah teks agama sebagai kebenaran mutlak dari Tuhan yang belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Jika ditinjau dengan ilmu Hadits, maka metode pemahaman normatif-tekstual beranggapan bahwa makna atau pesan yang terkandung dalam sebuah hadits sudah dijelakan secara zhahir oleh teks yang ada, sehingga segala upaya untuk memahami sebuah hadits diluar dari teks dianggap tidak tepat. Mereka beranggapan bahwa teks yang terdapat dalam sebuah hadits adalah mutlak seperti apa yang tertulis, situasi dan kondisi yang harus mengikuti bunyi teks hadits. Pemahaman norematif tekstual cederung menolak majas dan anti heremeneutika (takwil), sehingga teks tersebut harus dipahami sesuai dengan bunyi teks yang ada.
Sebagai contoh pemahaman terhadap hadits Nabi mengeni panjang tangan dikalangan istri Nabi sebagai berikut:
Dari Aisyar Ummul Mukminin, Rasulullah SAW. Bersabda: yang paling cepat menyusulku diantara kalian, sepeninggalku adalah yang paling panjang tangnnya.”
Melihat hadits tersebut, para istri Rasulullah mengira bahwa panjang yang dimaksud adalah panjang secara fisik. Ini terlihat dari kelanjutan hadits bahwa mereka kemudian saling mengkur siapa diantara mereka yang paling panjang tangannya yaitu Saudah. Akan tetapi yang dimaksud Nabi “dengan tangan yang paling panjang” adalah mereka yang balik banyak bersedekah dan kedermawanannya yaitu Zainab Binti Jahsy.
Demikian juga tejadi oleh para sahabat ketika Nabi berjalan dalam sebuah lorong yang terdapat sebuah ranting, sehingga Nabi membungkukkan badannya karena sedikit agak tergangnggu. Karena keinginan yang amat kuat untuk mengikuti apa yang telah dilakukan Nabi, maka para sahabat pun ikut membungkuk walaupun setiap melewati lorong tersebut, walupun ranting tersebut telah di potong.[12]
Para ulama hadits kontemporer berpendapat bahwa terdapat beberapa tema atau penjelasan sebuah hadits yang hanya mampu atau harus dipahami secara tekstual tanpa melihat kontek yang ada pada hadits tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Ali Mustafa Ya’qub yang berpadangan bahwa terdapat dua tema yang harus dipahami secara tekstual yaitu perkara ghaib dan ibadah murni (mahdhah)
1.      Perkara Ghaib
Dalam padangan Yusuf Al-Qardhawi menegasakan bahwa semua hadits sahih berkaitan dengan alam ghaib, maka harus diyaikini kebenarannya dan harus dipahami secara tekstual dan tidak diperbolehkan untuk ditolak meskipun mustahil bagi akal dan bertentangan dengan kebiasaan. Lebih lanjut Yusuf Al-Quardahwi menegaskan bahwa setidaknya terdapat tiga fenomena Gaib yang harus dipahami secara tekstual
a.         Kehidupan alam barza, pertanyaan kubur, nikmat dan azabnya.
b.        Kehidupan akhirat seperti kebangkitan, makhsayr, hari kiamat, timbangan, surga dan neraka dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan akhirat
c.         Hakikat Allah, Malaikat dan Jin
Sedangkan Ali Mustofa Ya’qub mencoba untuk mengaktegorikan ghoib, yaitu ghoib nisbi (relatif), seperti ketidak tauhuan sesorang mengunjungi tempat tempat yang belum pernah dikunjungi dan ghaib haqiqi (mutlak), seperti hari akhir, bentuk malaikat, jin, surga, neraka dan lain-lain tidak layak untuk ditafsirkan secara kontekstual. Dalam masalah-masalah yang telah disebutkan cukup mengikuti Al-Qur’an dan Hadits dalam memahami hal tersebut, karena akal dan fikiran manusia tidak akan mampu untuk menjangkau hal-hal yang ghaib tersebut.[13]
2.        Ibadah Murni (mahdah)
Ibadah mahdah adalah ibadah yang berkaitan dengan hubungan personil antara Khaliq dan makluknya, yang sudah di naskan dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti perintah shalat, puasa, haji harus difahami secara tekstual tanpa harus adaanya penafsiran secara kontekstual. Karena mekontektualisasikan ibadah murni akan mengakibatkan terjadinya praktik-praktik ibad’ah yang menyesatkan dan menjadikan subtansi teks tersebut kehilangan universalitasnya.[14]
Kelemahan dalam memahami sebuat hadits secara normatif tekstual adalah ketika menghadapi sebuah hadits yang mengandung makna majaz, dengan pendekatan normatif tekstul yang memang hanya berpedoman pada teks yang ada tidak akan mampu memahami hadits yang mendung majaz karena tidak masuk akal dan diluar pemahaman mereka.

Historis-Kontekstual
Historis atau sejarah adalah pemahaman yang mucul sebagai kritik tehadap pemahaman normatif. Kata historis sendiri merupakan serapan dari kara history dalam bahasa inggris, yang berasal dari istilah Yunani yaitu istoria, yakni gejala-gejala alam yang bersifat keronologis terutama yang berkaitan dengan manusia.[15] Dengan menggunakan sejarah seorang ahli hadits mampu melihat mata rantai antara satu kejadian dengan kejadian yang lain sehingga tidak terjadi distorsi pemahaman dalam memaknai sebuah hadits.
Sedangkan kontekstual berasal dari bahas inggros contex yang berarti menguntungkan, dalam KKBI “ suatu uraian atau kalimat yang mendukung atau menjelaskan makna, atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian dengan satu kajian atau lingkungan kejadian”. sehingga dapat ditari kesimpulan bahwa memamahi hadits secara kontekstual adalah mencoba memahami hadits dengan memperhatikan kondisi dan situasi yang melingkupi turunnya hadits tersebut. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan tekstual yang berpandangan bahwa teks merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tanpa mempedulikan kondisi dan situasi yang ada.[16]
Memahami hadits secara historis kontekstual dilakuakn karena kondisi dan situasi turunnya sebuah hadits berbeda dengan kondisi dan situsi di daerah lain, sehingga perlu adanya pemahaman secara kontekstual. Selain itu tidak semua hadits memiliki asbabul wurud  yang menjelaskan apakah status hadits tersebut bersifat umum atau khusus, sehaingga perlu adanya pemahaman hadits secara kontekstual bukan hanya tekstual. Dari pandagan diatas setidaknya terdapat berberapa sebab yang melatarbelakangi perlunya pendekatan kontekstual terhadap hadits Nabi, diataranya:
1.        Jumlah kaum muslimin yang semakin banyak dengan bebagai kultur, wilayah geografis dan kondisi sosial yang berbeda.
2.        Islam yang tidak lagi menjadi satu sebagai sebuah negara, sehingga mereka harus mengikuti aturan negara yang berbeda-beda.
3.        Adanya contoh dari Nabi bahwa perubahan hukum dapat berubah dengan disebabkan kondisi dan situasi yang berbeda.
4.        Adanya contoh dari para sahabat, yang mencontohkan pemahaman hadits secara kontekstual.
5.        Implementasi pemahama tekstual kadang tidak sejalan dengan kemaslahatan
6.        Islam sebagai agama rahmatalil alamin.[17]
Latarabelakang diatas meyebabkan pemahaman historis kontekstual, sebagai pemahaman hadits yang paling moderat, dikarenakan mereka tidak terburu-buru dalam menolak sebuah hadits sebelum melakukan kajian secara seksama. Sebab apa yang disampaikan oleh Nabi itu bersifat metaforis sehingga harus dipahami secara simbolik. Selain itu dalam bahasa Arab juga terdapat kata-kata yang bersifat majaz.[18]
Akan tetapi dalam pemahaman historis kontekstual harus memiliki batasan-batasan tema hadits yang dalam pembahasannya dianggap perlu untuk ditampilkan pemahaman kontekstual. Diatara tema-tema yang perlu untuk di pahami secara kontekstual adalah sebagai berikut:
1.        Menyangkut sarana dan prasarasan yang tertuang secara tekstual, seperti cara berpakaian dan bahasa yang digunakan.
2.        Menyangkut aturan manusia sebagai individu dan biologis, seperti makannya Nabi dengan tiga jari yang konteksnya adalah makanan yang dimakan adalah kurma dan roti.
3.        Menyangkut aturan manusia sebagai makluk sosial.
4.        Menyangkut sistem  bermasyarakat dan bernegara.[19]
Dalam memahami hadits secara historis kontekstual setidaknya terdapat beberapalangkah atau tahapan yang harus ditempuh antara lain  pertama, dengan menggunakan pendekatan kebahasaan, yang  meliputi struktur bahasa, kata-kata yang digunakan oleh bangsa Arab, Matan yang menggambarkan bahasa kenabian. Kedua, melalui kandungan teks. Ketiga, melalui keterkaitan hadits dengan hadits lain yang satu tema. Keempat, melalui penelusuran sejarah yaitu dengan menelusuri latarbelakang hadits dan menelisik aspek sanad dan matannya. Kelima, Asbabul Wurud.[20] Dan yang terakhir yaitu dengan dengan melakukan kajian hermeneutis dengan mencoba untuk mengintekoneksikan dengan disiplin ilmu lain, termasuk duina medis-kedokteran, untuk mencari penjelasan dan penguat dalam redaksi-redaksi hadits yang berkaitan dengan ilmu-imu medis.[21]

Rejeksionis-Liberal
Metode yang digunakan dalam memamahi hadits adalah dengan hanya menerima hadits-hadits yang sesuai dengan dengan akal dan menolak hadits-hadits yang dianggap tidak masuk akal terutama masalah medis. Salah satu contoh dalam pemahaman ini adalah hadits tetang lalat. Salah satu tokoh yang menolak hadits tentang lalat adalah Mahmud Abu Rayya, yang secara jelas menolak adanya hadits tersebut dan menganggapnya tidak bisa dipercaya. Ia mengkritik tajam Abu Hurairah sebagai berawi hadits dan menganggap beliau sebagai orang yang hafalnya tidak dapat dipercaya. Pendapat yang sama pun dikemukakan oleh Muhammad Taufiq. Hadits tersebut dinilai kontadiktif dengan akal dan teori medis. Karena pandangan mereka bahwa lalat merupakan serangga yang berbahaya dan dapat menyebakan banyak penyakit. Lalu apakah mungkin Nabi menyuruh menenggelamkan lalat yang sudah dianggap berbahaya kedalam minuman, seperti itulah pendapat Muhammad Taufiq dalam menanggapi kebenaran hadits tersebut:
Khalid ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata Uthbah bin Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: apabila ada lalat yang jatuh dalam minuman salah seorang kalian, makan kendaklah ia membenamkan sekalian, lalu buang lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayap terdapat penyakit, sedangkan sayap yang lain terdapat penawar (obat). (HR. al-Bukhari)
Selintas hadits tersebut memang kontradiktif dan tidak masuk akal dengan teori kesehatan. Akan tetapi setelah itu hadits ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti Mesir dan Arab Saudi, mereka membuat beberapa percobaan dengan menyiapkan beberapa bejana yang berisi air, jus dan madu yang dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat, setelah itu beberapa bejana dimasuki lalat, maka sebagian bejana yang dihinggapi lalat, lalat tersebut dibenamkan dan yang sebagian lainnya tidak. Setelah melakukan pengamatan dengan mikroskop, membuktikan bahwa minuman yang lalat tersebut tidak dibenamkan, memiliki kandungan mikroba dan kuman yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan minuman yang lalat tersebut dibenamkan.[22] Selain contoh diatas adalah adanya hadits yang memerintahkan untuk meminum kencing unta, maka dalam pandangan ini hadits tersebut ditolak karena ketidak sesuaikan dengan masuk akal.

Prinsip Metodologi Memahai Hadits
Para ulama memeberikan beberapa prinsip umum agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami hadits Nabi.
1.      Jangan terburu-buru dalam menolak sebuah hadits hanya karena tidak sesuai akal, sebelum melakukan penelitian dan pemahaman lebih lanjut.
2.      Memahami hadits secara tematik.
3.      Bertumpu pada analisa kebahasaan, dengan memperhatikan konteks dan teks.
4.      Membedakan ketentuan hadits yang mempunyai sifat legal formal dan ideal moral.
5.      Membedakan hadits yang bersifat lokal-kutural, temporal dan universal.
6.      Mempertimbangkan kedudukan Nabi.
7.      Meneliti dengan saksama tentang kesahihan hadits, baik sanad maupun matan
8.      Memastikan bahwa teks hadits tersebut tidak bertetangan dengan nash yang lebih kuat.
9.      Menginterkoneksikan dengan ilmu-ilmu sains moderen untuk menemukan kejelasan sautu makna.







Kesimpulan
Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam memilik karakteristik yang berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat mutlak kebenarannya, sedangkan disisi lain fungsi Hadits sebagai suber ajaran kedua setelah Al-Qur’an salah satunya adalah untuk memberikan penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Oleh sebab itu perlu adanya metodologi yang digunaka untuk  memahami sebuah hadits. terdapat tiga tipologi yang digunakan untuk memahami isi kandungan yang ada dalam hadits, yaitu normatif-tekstual yang lebih mengedepankan pemahaman hadits melalu teks yang ada tanpa mempedulikan konteks yang ada, historis-kontektual meruapakan metode pemahaman hadits yang lebih menitiberatkan pada konteks sejarah dan kondisi yang melingkupi sebuah hadits dan yang terkahir yaitu rejeksionis-liberal yaitu pemahaman hadits sesua dengan akal dan menolak segala hadits yang bertentangan dengan pemahaman akal.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Dudung. 2005. Metodologi Penelitian Agama: pendekatan Multidispliner. Jakarta:Bina Ilmu.
Asros, Miftahul, dan Musbikin, Imam. 2015. Membedah Hadits Nabi SAW. Madiun: Jaya Star Nine.
AW. Channa, Liliek. Memahami Makna Hadits secara Tekstual dan Kontekstual. Jurnal Studi Keislaman Ulumuna. Vol. 17, No. 2. Desember 2011.
Isma’il, Syuhuddin, M. 1992. Metodologi Penelitian Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Mustaqim, Abdul. 2016. Ilmu Ma’anil Hadits paradigma Interkoneksi. Yogyakarta: idea Press.
Natta, Abuddin. 2001. Peta Keraguan Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Suryadi. 2008. Metode Kontemporer dalam Memahami Hadits Nabi.  Yogyakarta: Teras.
Suryadilaga, Alfatih. 2012. Metodologi Syarah Hadits Era Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: SUKA Press.
Tasrif, Muh. 2007. Kajian Hadits di Indonesia Sejarah dan Pemikiran.  Ponorogo: STAIN Ponorogo Press.


[1] Muh. Tasrif, Kajian Hadits di Indonesia Sejarah dan Pemikiran, ( Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), 78-79.
[2] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadits Era Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: SUKA Press, 2012),  64.
[3] M. Syuhuddin Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 130.
[4] Suryadi, Metode Kontemporer dalam Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: Teras, 2008), 70.
[5] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta:idea Press, 2016), 27.                   
[6] Suryadi, Metode Kontemporer....., 73.
[7]Miftahul Asros dan imam Musbikin, Membedah Hadits Nabi SAW, (Madiun: Jaya Star Nine, 2015), 228
[8] Suryadi, Metode Kontemporer....., 73.
[9] Miftahul Asros dan imam Musbikin, Membedah......., 228.
[10] Liliek Channa AW, Memahami Makna Hadits secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Vol. 17, No. 2, Desember 2011, 397.
[11] Abuddin Natta, Peta Keraguan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), 18.
[12] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits,( Yaogyakarta: Idea Press, 2016), 28-29.
[13] Miftahul Asros dan imam Musbikin, Membedah......., 232.
[14] Ibid., 233.
[15] Dunung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Agama: pendekatan Multidispliner, (Jakarta:Bina Ilmu, 2005), 42.
[16] Miftahul Asros dan imam Musbikin, Membedah......., 233.
[17] Ibid., 336-337.
[18] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil...., 31.
[19] Miftahul Asros dan imam Musbikin, Membedah......., 238.
[20] Ibid., 340.
[21] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil...., 31.
[22] Ibid., 32-33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar