Kamis, 12 September 2019

Pandangan Seorang Awam

Pada awalnya saya berfikir bahwa untuk apa pemindahan ibu kota, justru akan menambah beban negara dalam hal pengeluaran negara, belum lagi hutang, pemerataan pendidikan, dan lain sebagainya, ditambah terdapat banyak hal-hal yang mengkhawatirkan yaitu upaya dari beberapa kelompok untuk memperkaya diri sendiri dengan adanya proyek besar-besaran dari pemerintah yang bahkah akan merugikan negara, 466 T bukan uang yang sedikit dan akan banyak kebocoran dana yang akan masuk kedalam kantong-kantong pribadi para tikus, bisa jadikan pemindahan ibu kota hanya untuk kepentingan sebgaian kelompok saja?, belum lagi setelah priode kepemimpinan pak Jokowi yang hanya sampai 2024, apakah selesai? Apakah mau diteruskan oleh kepemimpinan selanjutnya?, jika dilihat dari betapa banyak resiko yang di tanggung masih layakkah pemindahan ibu kota dilaksanakan? Hanya dengan alasan beban Jawa dan Jakarta yang sudah terlalu berlebihana dan pemerataan kepulau lain, Jakarta yang semakin macet dan terus mengalamai penurunan tanah yang diakibtakan pengambilan air tanah yang berlebihana? Atau karena faktor keamaan dari bencana alam?, kadang ada benarnya semua resiko-resiko yang sudah dipaparkan, akan tetapi jika kita terlalu takut melakukan sebuah perubahan, maka sejauh mana negara ini mampu berubah? Jika kita melihat dalam prosepek jangka pendek maka tentunya ini sangat tidak masuk akal, akan tetapi yang dihadapi bukan 10 atau 20 tahun kedepan tapi juah lebih dari itu, untuk anak cucu kita, maka menurut saya sependapat dengan pemindahan ibu kota ini, dengan melihat prospek jangan panjang, akan tetapi dengan perencaan yang sangat matang dan pengauditan keuangan yang harus benar-benar baik, maka dari itu saya setuju dengan kebijakan pemindahan ibu kota dengan beberapa pertimbangan diatas untuk Indonesia yang lebih baik kedepannya


74 Tahun Indonesia Merdeka, menuju yang lebih baik

Sejarah Perang Salib 1095-1291 (Dari Sebab terjadinya perang Salib sampai akibat Perang Salib)


                                 

Pendahuluan
Pertemuan pertama bangasa Eropa dengan Islam terjadi karena adanya kebijakan perluasan wilayah muslim, yang dilakukan mulai dari masa Nabi Muhammad SAW. Perluasan wilayah ini kemudian diteruskan setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, terutama pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang berhasil memperluas wilayah sampai Yerussalam pada tahun 638 M. satu abad kemudian pasukan Islam telah berhasil menyebrangi pegunungan atara Spanyol dan Inggris dan berhasil memperluas wilayahnya mulai dari India utara hingga Perancis selatan. Dua abad selanjutnya, perimbangan kekuasaan antara Eropa dan dunia Islam secara meyakinkan tetap berada dalam tangan kaum Muslim. Namun, pada abad kesepuluh dan kesebelas, perpecahan politik menimpa Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Hal ini tetentunya berakibat pada melemahnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah, yang kemudian kelemahan ini yang dimanfaatkan oleh musuh musuh Islam untuk merebut wilayah yang telah ditakulukan oleh Umat Islam.[1]
Perang Salib atau The Crusades War adalah serangkaian perang yang terjadi selama dua abad, sebagai reaksi Kristen Eropa terhadap Islam Asia. Perang ini terjadi kerena sejumlah kota dan tempat suci Umat Kristiani dikuasai oleh Islam sejak 632 M seperti Surah, Asia kecil, Spanyol dan Sicilia.[2] Perang ini juga merupakan oprasi milter yang terdiri atas tiga babak menurut mayoritas sejarawan, yang tujuan utamanya merebut kembali kota suci dari tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) yaitu Yerussalam atau Baitul Maqdis dari orang-orang Islam.[3] kaum Kristen Eropa berpendapat bahwa Yerussalam merupakan tempat perlindungan mereka yang harus mereka rebut dari tangan Islam.[4] perang Salib ini terjadi antara tahun 1095-1291 M, yang kesemuannya dilakukan didaerah kekuasan Islam mulai dari Nicea sampai pada Yerussalam.
Perang ini dinamakan perang Salib karena ekspedisi yang dilakukan Kristen Eropa menunjukan lambang Salib, yang merupaka lambang pemersatu kaum kristian yang menunjukan bahwa perang yang mereka  laksanakan adalah perang suci. Oleh karena itulah perang terbesar dalam sejarah Umat manusia atara Umat Islam dan Kaum Kristen dinamakan perang Salib.[5] Dalam perang Salib terdapat sebab dan akibat perang Salib yang tentunya meninggalkan luka yang cukup dalam bagi pihak Islam dan Kristen.
Dalam tulisan tentang perang Salib ini akan membahas tentang sebab, priodesasi,akibat sampai pada warisan yang ditingglakan Perang Salib. karena banyaknya pendapat mengenai priodeasi perang Salib mulai dari tiga sampai delapan, membuat penulis mengambil  pendapat terbanyak sejarawan yang mengelompokan perang Salib menjadi tiga priode, yang terdiri dari Priode penaklukan, Raksi Umat Islam dan priode perang saudara kecil atau priode kehancuran. Penulis bertujuan untuk memaparkan secara ringkas runtut mengenai perang Salib mulai dari Sebab-sebab terjadinya perang Salib sampai akibat yang ditinggalkan perang Salib, dengan menggunakan sumber-sumber sekunder yang terdiri buku-buku terjemahan yang ditulis oleh Sejarawan Moderen Asing sampai pada buku-buku yang di buat oleh Sejarawan Indonesia.
Sebab terjadinya Perang Salib
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perang Salib berkobar, diatara faktor tersebut adalah faktor agama, faktor politik, faktor sosial dan faktor ekonomi.
1.      Faktor Agama
Kekalahan besar yang dialami oleh pasukan Salib pada pertempuran Malazgirt[6] benar benar menjadi momok besar bagi Imperium Byzantiyum. Kekalahan ini membuat Imperium Byzantium didesak untuk melakukan kontak dengan Romawi Barat, yang pada waktu itu belum sependapat dalam menghadapi kekuasaan Dinasi Seljuk. Kompromi antara Romawi Barat dan Romawi Timur semakin menguat karena adanya pengakuan dari Peter the Hermit, yang merupakan pendeta dari Perancis yang sedang berziarah di Baitul Maqdis, mengaku bahwa dirinya dan peziarah lainnya dipelakukan dengan tidak baik oleh penguasa Muslim yang dalam hal ini dikuasai oleh Dinasti Seljuk. Peter kemudian menghadap Paus Urbanus II guna melaporkan tindakan yang dilakukan Penguasa Baitul Maqdis kepadanya dan menyampaikan seruannya untuk merebut tempat-tempat suci Kristen. bukan sampai disitu saja, Peter juga menyambangi Jerman, Perancis dan Belgia untuk menyerukan kepada khalayak ramai untuk merebut kembali “Makan Kristus”[7]
2.      Faktor Politik
Jatuhnya wilayah Armenia, pada tahun 1071 M dan jatuhnya Asia kecil ke bawah kekuasaan dinasti Seljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnenus (kaisar Konstantinopel) untuk meminta Paus Urbanus II untuk menyerukan seruan perang suci, dalam usahanya untuk merebut kembali kekuasaan yang telah direbut oleh Dinasti Seljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Byzantium karena adanya janji kaisar Alexius untuk tunduk dibawah kekuasaan Paus Roma dan ini menjadi harapan Puas untuk menyatukan kembali Kekaisaran Romawi Barat dan Romawi timur.[8]
Di lain pihak kondisi Umat Islam pada waktu itu sedang melemah. Ketika itu Dinasti Seljuk yang berada di Asia Keci sedang mengalami perpecahan, Dinasti Fatimiyah yang ada di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara itu kekuasaan Islam di Spnyol semakin goyah. Situasi ini seakin parah karena adanya pertentangan segitiga atara kekhalifahan Fatimiyah di Mesir, Khalifah Abasiyah di Baghdad dan Amir Umayah di Cordova yang memprolamirkan dirinya sebagai Khalifah. Situasi ini kemudian di manfaatkan oleh para penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah keuasaan Islam, seperti Dinasti Kecil di Edesa dan Baitul Maqdis.[9]
3.      Faktor Sosial
Pada abad pertengahan, terdapat beberapa kelas yang ada di masyarakat Eropa. Pertama, kelas agamawan yang meliputi Uskup dan Pendeta. Kedua, kelompok prajurit yang meliputi perwira dan kesatria. Ketiga, kelompok petani yang mencakup petani dan budak. Kelompok agamawan dan kelompok Kesatria merupakan kelompok minoritas elit yang menguasai lembaga politik dan aristocrat. Sedangkan, kelompok petani yang merupakan kelompok kelas bawah merupakan kelompok mayoritas yang selalu tertindas oleh kelompok-kelompok yang ada diatasnya, mereka juga terpaksa bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang ada diatasnya. Kebanyakan anggota kelompok petani adalah budak yang sama sekali tidak memiliki kebebasan pribadi, karena semua yang dikerjakan dan dikumpulkan oleh seorang budak menjadi milik tuannya, sehingga kahidupan kelompok petani amat berat dan sengsara. Semua itu tejadi tepat ketika seruan perang Salib dikumandangkan. Sehingga itu menjadi angin segar bagi para kelompok petani untuk melepaskan diri dari kehinaan dan kesengsaraaan yang sedang mereka jalani, hal ini yang membuat gelombang pertama pasukan Salib sebagian besar terdiri dari kelompok petani yang tidak terlatih. Tampaknya kematian lebih mereka sukai daripada hidup dalam keadaan hina sebagai budak.[10]
4.      Faktor Ekonomi
Kemakmuran timur Islam, merupakan salah satu pendorong paling utama dikorbarkannya perang Salib setelah faktor agama. paus Urbanus II sendiri pernah menyatakan bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor penting dalam perang Salib. dia berkata “jangan biarkan kalian berdiam diri… karena tanah yang kalian tempati, dikelilingi lautan dengan gunung-gunung diatasnya sudah menjadi sedemikian sempit karena begitu banyak orang yang mendiaminya, sampai-sampai ia tak sanggup lagi memenuhi makanan mereka. Sebab itulah kalian saling memenggal leher kalian satu sama lain dan saling bertikai….”. Yerusalam adalah negeri yang buah-buahanya tidak tertandingi oleh tempat manapun. Bahkan, Yerussalam menjadi tempat dari segala keindahan, sedangkan pada waktu itu Eropa sedang dilanda krisis ekonomi dan kelaparan terutama di Negara Perancis, oleh sebeb itu pada perang Salib pertama prajurit Perancis menjadi prajurit terbesar.[11]
Para pedagang besar yang berada di pantai Timur Laut Tengah terutama di Negara Italia, seperti Kota Venesia, Genoa dan Pisa berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung dana untuk mengobarkan perang Salib, dengan maksud agar kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan mereka apabila Kristen Eropa mendapatkan kemenangan.[12]

Proses terjadinya Perang Salib
Petang Salib ( The Crusade War) dalam beberapa literature memparakan masa terjadinya perang Salib selama 2 Abad antar tahun 1096 sampai 1291. Dari waktu yang panjang tersebut dapat dibayangkan betapa banyak korban yang  berjatuhan dari kedua belah pihak. [13] para sejarawan berbeda pendapat mengenia priodesasi perang Salib, ada yang berpendapat perang Salib tejadi selama 6 priode, ada juga yang berpendapat terjadi selama 8 priode, namun pendapat ini menurut sebagian kecil sejarawan. Akan tetapi, sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa perang Salib terjadi selama 3 priode.[14]
Priode Pertama, Priode Penaklukan ( 1096-1144)
Seruan Perang Salib I, merupakan hasil kerja keras dan usaha Paus Urbanus II dalam kapanyenya dalam dikalangan keuskupan Agung. Disamping itu kampanyenya di kalangan masayarakat luas yang dilakukan oleh pendeta Kriten yaitu Peter, yang mampu menggugah emosi keagaman masayaraka Eropa.[15] Selain itu jalinan kerjasama antara Kaisar Alexus I dan Paus Urabnus II, berhasil membangkitkan semangat Umat Kristen, terutama akibat pidato yang diasampaikan Paus Urbanus II pada 26 November 1096 di Clermont, bagian tenggara Perancis dan memerintahkan orang orang Kristen agar “memasuki lingkungan Makam Suci, merebutnya dari orang orang jahat dan meneyerahkannya kembali kepada mereka”. Mungkin inilah pidato Paus yang paling berpengaruh yang pernah disampiakn paus sepanjang catatan sejarah. Orang orang yang hadis disana meneriakan selogan Deus Vult (Tuhan Menghendaki).[16]
   Hasan Ibrahim Hasan dalam bukunya Tarikh Al-Islam, menggambarkan gerakan ini sebagai gerakan rakyat jelata yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dalam berperang dan tanpa persiapan. Gerakan ini dipimpin oleh Piere I’Emits. Perang Salib pertama ini sebagian besar berasal dari Perancis dan Normandia. Dari sepanjag jalan menuju Konstantin mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, mereka melakukan perbuatan brutal, perampokan, mabuk-mabukan dan perzinaan pada tempat tempat yang mereka lalui. Tindakan pasukan Salib ini menyebabkan kemarahan bangsa Bulgarian dan Hungaria, yang dalam perjalannya pasukan pertama mampu ditaklukan oleh pasukan Dinasti Seljuk sebelum sampai ke Baitul Maqdist.[17]
 Hancurnya pasukan Salib pertama, segera di susul oleh bangkitnya pasukan Salib satu tahun berikutnya pada tahun 1097. Tentara Salib gelombang kedua ini dipimpin oleh Godfrey, Bohemond dan Raymond, gerakan ini lebih mirip dengan ekpedisi milter yang sangat teroganisir dan tersusun rapi. Kali ini tentara Salib menyembrangi selat bosor, mamasuki Asia Kecil dan memblokade kota Nicea. Setelah kurang lebih selama satu bulan dikepung sampai akhirnya kota ini dapat ditaklukan pada tcanggal 18 Juni 1097 M. setahun berselang ditahun 1098 M, pasukan Salib dapat menguasai Raha (Edessa), Syiria Utara sampai pada Antokia. Hingga akhirnya pada bulan Juni 1099, tentara Salib bergerak untuk melanjutkan penyerbuannya ke kota suci Baitul Maqdist. Selama kurang lebih satu bulan mengepung kota tesebut, akhirnya pasukan Salib berhasil menaklukan Yersussalam ( Baitul Maqdist) tepatnya pada tanggal 15 Juli 1099 M. [18]
Pasukan Godfrey melakukan pembantaian secara besar-besaran terhadap Umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, anak- anak maupun orang tua. Banjir darah dan pembantaian terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka.[19] Selain itu tidak hanya kaum muslim saja yang dibunuh, tetapi juga orang orang Yahudi dan Nasrani setempat yang tidak mau bekerjasama dengen mereka.
Dengan berhasilnya pasukan Salib menguasai Baitu Maqdis dan kota kota disekitarnya, maka mereka dapat mendirikan empat kerajaan Latin lainnya, yaitu:
a.       Kerajaan Latin I di Edessa (1096 M) yang dipimpin oleh raja Boldwin.
b.      Kerajaan Latin II di Antokia (1098 M) yang dipimpin oleh raja Bahemond
c.       Kerjaan Latin III di Batul Maqdis (1099 M) dipimpin oleh raja Godfrey
d.      Kerjaan Latin IV di Tripoli (1099 M) dipimpin oleh Reyond.[20]
Dari apa yang telah disebutkan diatas, bahwa perang Salib di priode pertama ini, kemenangan diraih oleh Pasukan Salib dan Umat Islam mengalami kekalahan secara mutlak. Sehingga Pasukan Salib mampu merealisasikan tujuan utamanya untuk menguasai  Baitul Maqdis. Kekalahan ini penyebab terbesarnya adalah kondisi Umat Islam yang seakan tidak siap dalam menghadapi serangan dari Pasukan Salib yang begitu mendadak dan juga karena kesibukan masalah Internal yang ada pada Penguasa Islam.
Priode kedua, Priode Reaksi Umat Islam (1144-1192)
Pada masa ini, banya wilayah kekuasaan Islam di rebut oleh tentara Salib, sehingga menyebabkan timbulnya rekasi Umat Islam untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang telah diambil oleh tentara Salib. kaum muslim mulai menghimpun kekuatan-kekuatan besar yang ditujukan untuk menghadapi tentara Salib. Di bawah pimpinan panglima, Imanuddin Zangki, Gubenur Mosul pada saat itu, kaum muslim menyatukan langkah untuk membendung serangan tentara Salib.[21]  hasilnya pada tahun 1144, Islam berhasil menaklukan beberapa kota yang telah berhasil direbut oleh tentara Salib, antara lain: Aleppo, Hamimmah dan kota kota lain sampai pada Edessa.[22] Ini merupakan salah satu kemenangan besar Islam semenjak dimulainya perang Salib. Pada tahun 1146, imanuddin Zangki wafat, karena dibunuh oleh seorang budak, [23] maka perjuangnnya dilanjutkan oleh putranya bernama Nuruddin Zangki yang meneruskan cita-cita yang ingin membebaskan Negara-negara Islam diwilayah timur dari cengkraman tentara Salib.
Kabar tentang kejatuhan Edessa mengejutkan orang orang Kristen di Eropa Barat. Namun, ketika Paus Eugenius III dan raja Louvis VII menyerukan Perang Salib baru, tanggapan masyarakat sangat mengecewakan, karena banyak masyarakat telah mendengar betapa mengerikannya perang Salib pertama limapuluh tahun sebelumnya. Dengan usaha Bernard, kepala biara dari Clairvaux, akhirnya dapat mengumpulkan masa untuk kembali mengorbankan Perang Salib kedua.[24]pada perang ini dipimpin oleh Raja Prancis Louis VII dan Raja Jerman Condrad II, sasaran pertama mereka yaitu merebut kembali wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi serangan ini sangat mudah ditakulukan oleh Nuruddin Zangki, sehingga pada penyerangan ini Pasukan Salib gagal untuk menguasai wilayah Islam.
Pada tahun 1149, Nuruddin Zangki berhasil menaklukan wilayah Damakus, Antokia dan Mesir. Dua tahun berikutnya pasukkan Islam berhasil menaklukan seluruh wilayah Edessa, dan sempat menangkap Emis Edessa. Kemudian pada tahun 1164 Nuruddin Zangki berhasil menaklukan kota Antokia dan menyandara Emir Bahemeond III dan sektunya Raymond III. Keduanya dibebaskan setelah membayar tebusan dalam jumlah besar.[25]  Pada tahun 1174 Umat Islam berkabung atas wafatnya pemimpin terbaik mereka yaitu Nuruddin Zanki.
Dengan wafatnya Nuruddin Zangki, selanjutnya pemimpin perang dipegang oleh Salahuddin Al-Ayyubi (seorang pendiri Dinasti Ayubbiyah 1175 M di Mesir). Dibawah pimpinannya tentara Islam semakin berjaya, dan pada puncaknya pasukan Islam berhasil menaklukan Baitu Maqdis pada tahu 1187 M, ini merupakan keberhasilan terbesar Umat Muslim yang tecatat dalam sejarah perang Salib kedua. Sehingga pada tahun yang sama pula Masjidil Aqsa kembali mengumandangkan Adzan, sementara pasukan Salib banyak yang menjadi tawanan. Keberhasilan Islam ini sangat menyedihkan dan memukul persaan tentara Salib.
Pada tahun 1189, kaum Salib kembali mengobarkan semangat Salibnya untuk menakulukan kembali wilayah-wilayah Islam, mereka mengirim ekspedisi militer besra-besaran dan lebih kuat. Mereka menyusun rencana sebaik mungkin untuk menyerang sebagai balasannya, pasukan ini di komandoni oleh raja-raja besar Eropa seperti Frederick I (Frederik Barbarosa, Kaisar Jerman), Richard I (The Lion Hearted, Raja Inggris) serta Piliph II (Piliph Agustus, Raja Prancis). Ekspedisi perang Salib ini itu dibagi menjadi tiga devisi: devisi pertama menempuh jalur laut, yang dipimpim oleh Frederick I yang memimpin jalur darat, namun Federick tewas tenggelam ketika menyembrangi sungai Armenia, dekat kota Edessa. Sebagian tentaranya kembali, sedangkan sebagian kecil masih menajutkan perjalanan. Sedangkan devisi kedua dipimin oleh Piliph I melalui jalur laut bertemu dengan Devisi Tiga yang dipimpin oleh Richard III yang juga melalui laut, mereka bertemu di Sicilia.
Piliph I jatuh sakit dan memilih kembali ke Perancis.[26] Sedangkan Ricahard III melanjutkan perjalanan ke Akkad dan bertemu dengan tentra Islam. pasukan Islam berhasil mundur untuk menyusun strategi, sementara pasukan Salib tidak berhasil memasuki kota suci Biatul Maqdsi. Peperangan ini berlangsung sampai tahun 1192 M. dalam keadaan demikian pihak Richard III dan Salahuddin al Ayyubi sepakat melakukan genjata sejata dan melakukan perjanjian yang dinamankan perjanjian Ramlah. Yang inti perjainjiannya daerah pesisir seperti Tyre sampai Yafo sedangkan daerah pedalaman tetap berada dalam kekuasaan Islam termasuk Baitu Maqdist, namun dengan syarat bahwa Umat Islam harus menjamin kemanan bagi Umat Kristen yang Berziara ke Baitul Maqdis dengan mesyaratkan juga agar Umat Kristen memasuki Baitl Maqdis dengan tanpa membawa senjata. Dengan disahkannya perjanjian tersebut, maka Baitul Maqdis tetepa berada di tangan Umat Islam.[27] Beberapa bulan setelah pengesahan dua kesepakatan tersebut, pada tanggal 3 Maret 1193, salahuddin al-Ayyubi tutup usia pada usia 55 tahun dan beliau dimakamkan di Syiria. [28]
Priode ketiga, Perang Saudara atau Kehancuran (1193-1291 M)
Skala proiritas pasukan Salib pada Priode ini adalah menguasai Mesir, dengan pertimbangan ekonomi bahwa jika Mesir dapat dikuasai maka mereka akan mendapat keutungan yang besar dalam peperangan, sebab apabila menakulkan Masir maka kesempatan untuk memasuki Laut Merah dan mengembangkan perdagangan ke Hindia dan kepulauan Hindia sebelah Timur. Beberapa tahun setelah pasukan Salib berhasil menduduki Konstantinopel, pada tahun 1218, karena adanya pemberontakan kaun Kristen Ortodok, mereka menyerang Mesir, tetapi tidak berhasil dan hanya bisa mengiuasai Dimyat sebagai pintu gerbang strategis untuk memasuki Mesir. Dalam keadaan yang mendesak kaum Muslim karena Dimyat dikuasai oleh Pasukan Salib, akhirnya Frederick II mengadakan perundingan dangan Malik al-Kamil, penguasa Mesir dari Dinasti Ayubbiyah. Isi perjanjian tersebut adalah Baitul Maqdis diserahkan kepada tentara Salib dan sebagai gantinya Dimyat dikembalikan kepada Umat Islam. Malik al Kamil pun setuju, dia memilih untuk lebih mengorbankan Baitul Maqdis kepada pasukan Salib dari pada harus menuai kekalahan di Mesir yang merupakan Pusat Dinasti Ayubbiyah. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, Baitul Maqdis kembali ke pangkuan Pasukan Salib dan Federick II sebagai rajanya. Namun setelah melaui beberapa pertempuran melawan pasukan Salib, akhirnya Baitu Maqdis berhasil dikuasai oleh Islam kembali, yaitu oleh Dinasti Ayyubiyah, al Malik al-Saleh putra al Malik pada tahun 1247 M.[29]
Perlawanan terhadap tentara Salib dilajutkan oleh Dinasti Mamlik pada tahun 1263M. Al-Malik al Zahir Baybars berhasil menaklukan kota-kota Caesarea dan Akka. Keperhasilan ini juga dilanjutkan dengan berhasilnya tentara Islam untuk merebut kembali Yaffa dan kota Antokia yang merupaka benteng pertahanan tentara Salib dalam tahun 1271 M.[30]
Perjuangan Baybars dilanjutkan oleh Qalawun yang memerintah tahun 1279-1290 M. Dibawah pemerintahannya Liqiyah dan Tripoli dapat ditaklukan dalam tahun 1289 M. dan pada tahun itulah Sultan Qalawun mempersiapkan tentaranya untuk menaklukan daerah-daerah yang dikuasai tentara Salib, namun dia meninggal sebelum usaha tersebut berhasil. Usahanya dilanjutkan oleh putrannya, Asyraf Khalil yang berkuasa dalam tahun 1290-1293. Pada tanggal 5 April  1291 M. ia menyerang dan mengepung kota Akka dab berhasil menguasai kota tersebut pada tanggal 28 Mei 1291 M. selanjutnya, kota-kota yang dikuasai Salib satu demi satu jatuh ketangan pasukan Islam, termasuk Baitul Maqdis. Tanggal 14 Agustus 1291 M. kekuasaan tentar Salib sudah lenyap dari Timut Tengah. Adapun sisa-sisa tentara Salib, selanjutnya melarikan diri melalui jalur laut dan kebanyakan mereka mengungsi ke Cyiprus.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih tantara Islam pada priode terakhir ini, sangat didukung oleh pemimpin perang yang tangguh dan berani, beberapa pemimpin tentara Islam terkahir yaitu Malik al-Kamil, Saleh al-Kamil, Sultan Qalawun dan Asyraf Kalili berhasil memberiakankekalahan pasuka Salib. disamping itu tentara –tentara Islam juga merupakan pasukan-pasukan yang terlatih di medan perang.
Akibat Perang Salib
Meskipu pihak Kristen Eropa mengalami kelalahan dalam perang Salib, namun mereka telah mendapatkah hikmah yang luar biasa dan tidak ternilai hargannya dari perkenalan mereka dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian maju. Kebudayaan yang mereka bawa dari Islam ke Barat adalah bidang militer, seni, perdagangan, perindustrian, pertanian, astronomi, kesehatan, dan kepribadian. Dan pengaruh yang diambil kaum Kristen Eropa dari Islam inilah yang kemudian melahirkan era Renaisanse pada abad ke 16, yang disusul kemudian dengan era pencerahan pada abad ke 18 M.[31]
Dalam bidang militer, dunia Barat menemukan persenjataan dan teknik berperang yang belum pernah miliki sebelumnya, diatarannya penggunaan bahan peledak untuk melontrakan peluru, teknik melatih burung untuk kepentingan informasi militer dan penggunaan rebana atau gederang untuk meberikan semangat kepada pasukan militer di medan perang.
Dalam bidang perindustrian, mereka banyak menemukan kain tenun dan berbagai macam peralatan tenun di dunia timur. Untuk itu mereka banyak mengimpor berbagai jenis kain dari Timur ke Barat. Selain itu mereka juga menemukan berbagai jenis parfum untuk mengharumkan ruangan. Dalam bidang pertanian mereka menemukan sistem pertanian yang belum pernah mereka temui di Eropa diantaranya model Irigasi yang praktis dan jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang beraneka macam.
Hubungan perniagaan dengan Timur menyebabkan mereka menggunakan mata uang sebaga alat tukat menukar yang awalnya mereka hanya menggunakan barter. Ilmu astronomi yang dikembangkan Islam mulai abad ke 9 M. telah mempengaruhi lahirnya berbagai observatorium di dunia barat. Dan yang tidak kalah penting adalah sikap dan kpribadian Umat Islam pada waktu itu telah memberikan pengaruh postif terhadap nilai nilai kemanusiaan di Eropa. [32]
Sementara dipihak Islam, perang Salib menyisakan luka yang sangat mendalam. Meskipun wilayah wilayah kekuasaan Islam berhasil direbut kembali, dalam arti perang ini dimenangkan oleh Umat Islam, namun membawa bayak kerugian di pihak Islam, karena peperangan berada di wilayah kekuasaan Islam, tentunya berapa banyak kerugian yang ditanggung oleh Islam, khususnya berkenaan tentang fasilitas hidup. Perekonomian Islam semaki jatuh, wilayah-wilayah kekusaan Islam terpecah belah. Dinasti-dinasti kecil yang berpotensi untuk melepaskan diri dari pemerintahan Bani Abbasiyah akhirnya memperoleh kemerdekaannya dan menyebabkan kelemahan yang dialami oleh pemerintahan pusat bani Abbasiyah di Baghdad.[33]
Penutup
 Selama kurang lebih dua abad (1095-1291 M), perang Salib dikobarkan. Yang merupakan perang terbesar sepanjang sejarah yang melibatkan dua agama Samawi yaitu Islam dan Kristen. ada banyak faktor yang melatar belakangi Perang besar ini, diantaranya adalah faktor agama, ekonomi, politik dan sosial. Namuna sebagian sejarawan berpendapat bahwa faktor yang berpengaruh paling besar adalah faktor agama. kemudian dalam perjalannya perang Salib di priodekan oleh sebagian besar para sejarawan menjadi tiga priode, priode pertama (1096-1144) Islam mengalami kekalahan besar dikarenakan Umat Islam masih sibuk dengan urusan Internal masing-masing yang membuat kurang siap dalam menghadapi serangan kaum Salib. Priode kedua (1144-1192) merupakan priode reaksi Umat Islam, pada prode ini Islam mulai bersatu untuk melawan pasuka Salib, dan akhinrnya mereka mampu merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki oleh pasukan Salib. Priode ketiga (1192-1291), merupakan priode kekalahan pasukan Salib, pada priode ini Islam bisa sepenuhnya menguasir pasukan Salib dari wilayah Islam. pasca perang Salib walaupun Islam telah berhasil mengusir pasukan Salib, namun kerugan yang cukup besar dari kalangan Islam karena seluruh peristiwa perang Salib berada diwilayah Islam. sedangkan dipihak Kristen mereka mendapatkan banyak pelajarah dari kemajuan peradaba Islam di timur yang akhirnya mereka dapat mengembangkannya hingga sekarang.

Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir. Sejarah Pedaraban Isalam, Jakarta, Azamah 2003.
Amstrong, Karen. Holy War; The Crusade and Thaei Impacon Today’s Word,(Prang Suci: dari Kiasah Detail Perang Salib dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang). Terj. Hikmat Darmawan, Jakarta, Serambi, 2013.
Azid, Rizem. Sejarah peradaban Islam terlengkap (Priode Klasik, pertengahan dan Moderen). Yogyakarta, Diva Pess, 2015.
al-Maghlust, Sami bin Abdullah. Athlas al-Hamiat ash-Sahlibiyyah (Atlas Perang Salib), Terj. Fuad Syaifuddin Nur, Jakarta, Almahira, 2009.
Hauqola, N Kholis. Gejolak peradaban Islam pada Masa Perang Salib, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013.
Hillebrand, Carolie. The Crusade: Islamic Perspective (Perang Suci: Sudut Pandang Islam), Terj. Heryadi, Jakarta, Serambi, 2015.
Hitty , Pilip. History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedy Sekamet Riyadi. Jakarta, Serambi Ilmu Pustaka, 2014.
Ismail, Faisa. Paradigma Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Muzayanah, Sejarah Peradaban Islam2, Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014.
Nurhakim, Muhammad. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang, UMM Presa, 2014.
Supriyadi, Dedi. Sejarah dan Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
Syamzan Syukur. Perang Salib, Bingkai Sejarah, Jurnal Rihlah, Vol . II, No I, 2014
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008


[1] Carolie Hillebrand, The Crusade: Islamic Perspective, Terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi, 2015) 20-21
[2] Rizem Azid, Sejarah peradaban Islam terlengkap (Priode Klasik, pertengahan dan Moderen) (Yogyakarta: Diva Pess, 2015) 408
[3] Ibid., 409
[4] Carolie Hillebrand. 1
[5] Rizem Azid. 409
[6] Pertempuran malazgirt tejadi pada tahun 463 H/ 1071 M. merupakan pertempuran antara Dinasti Saljuk yang dipimpin oleh Alib Arsenal dengan  Imperium Byzantiyum yang di menangkan oleh pasukan muslim secara gemilang, yang membuat keruntuhan dominasi Imperium Byzantiyum di Asia Kecil.
[7] Sami bin Abdullah al-Maghlust, Athlas al-Hamiat ash-Sahlibiyyah, Terj. Fuad Syaifuddin Nur, ( Jakarta: Almahira, 2009) 20
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Pedaraban Isalam (Jakarta, Azamah 2003) 235
[9] Ibid., 236
[10] Sami bin Abdullah al-Maghlust, 28-29
[11] Ibid., 31
[12] N. Kholis Hauqola, Gejolak peradaban Islam pada Masa Perang Salib, Dinamika Peradaban Islam. ( Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013) 139-140
[13] Syamzan Syukur, Perang Salib Bingkai Sejarah, vol II,. 50
[14] Rizem Azid, 414
[15] Syamzan Syukur, 50
[16] Pilip H Hitty, 812
[17] Dedi Supriyadi, Sejarah dan Peradaban Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2008) 172-173
[18] Syamzan Syukur, 53
[19] Rizem Azid, 416
[20] Syamzan Syukur, 53
[21] Rizem Azid, 417
[22] Syamzan Syukur, 53
[23] Carolie Hillebrand, 29
[24] Karen Amastrong, Holy War; The Crusade and Thaei Impacon Today’s Word,(Prang Suci: dari Kiasah Detail Perang Salib dan Dampaknya Terhadap Zaman Sekarang). Terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta: Serambi, 2013) 319
[25] Syamzan Syukur, 54
[26] Muzayanah, Sejarah Peradaban Islam 2 (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014) 125
[27] Rizem Azid, 418
[28] Syamzan Syukur, 54
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Diarasah Islamiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008) 79
[30] Pilip K Hiity, 220
[31] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998) 124
[32] Nur Khoolis Hauqola, 153-154
[33] Mohammad Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang, UMM Press, 2004) 98